Terlepas dari penyensoran signifikan, penemuan yang baru dipublikasikan oleh Forest Stewardship Council memperlihatkan bahwa Korindo Group merusak lebih dari 30.000 hektar hutan hujan dalam jangka waktu lima tahun terakhir, memanipulasi secara sistematis dan membayar dengan tidak layak pemilik lahan asli.
BONN, JERMAN – Pada hari ini, Forest Stewardship Council (FSC), lembaga sertifikasi global untuk pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, mempublikasikan ringkasan penemuannya dari investigasi sepanjang dua tahun yang dimulai oleh pengaduan Mighty Earth mengenai Korindo Group, konglomerat minyak kelapa sawit Korea-Indonesia yang memiliki reputasi buruk.
“Seriusnya pelanggaran yang dilakukan Korindo seperti terungkap pada laporan ini sungguh mengejutkan, bahkan setelah FSC dan Korindo menyensor lebih dari 110 halaman temuan tersebut,” ungkap Deborah Lapidus, Senior Campaigns Director Mighty Earth. “Korindo telah lama membenarkan perusakan area besar hutan hujan yang belum terjamah atas dasar ‘pembangunan’, walau kenyataannya sebaliknya. Investigasi ini memperlihatkan bagaimana Korindo berusaha keras untuk memanipulasi, mengintimidasi, dan menipu masyarakat lokal. Tidak ada pembenaran untuk FSC mendukung upaya Korindo untuk menutupi laporan lengkap, karena praktik semacam ini sudah sangat lumrah di Papua dan jarang terekspos. Remediasi bagi masyarakat setempat seharusnya telah dilakukan semenjak lama, dan publikasi utuh serta faktual dari hasil temuan FSC akan membawa hasil positif.”
Selama bertahun-tahun, bahkan saat Korindo terlibat dalam deforestasi berskala besar di Papua dan Maluku Utara, Indonesia, seperti didokumentasikan oleh Mighty Earth, perusahaan ini mendapat keuntungan dari label prestisius FSC untuk melakukan perdagangan kayu gelondongan, kayu lapis, kayu pulp, biomassa, dan kertas koran pada konsumen seperti Asia Pulp & Paper dan APRIL (Indonesia), Sumitomo Forestry, Oji Corporation, dan Marubeni (Jepang), serta News Corps Australia.
FSC mengutus Complaints Panel (panel pengaduan) untuk melakukan investigasi sebelum kemudian dilakukan dua investigasi atas tuduhan Mighty Earth kepada Korindo.
Mighty Earth telah secara konsisten meminta pada FSC untuk mempublikasikan hasil temuannya secara utuh. Laporan utama Complaints Panel, yang seutuhnya memiliki panjang 110 halaman dan dijadwalkan untuk dipublikasikan pada tanggal 5 September, dibatalkan setelah FSC menerima somasi dari Korindo. Dokumen yang dipublikasikan oleh FSC kini telah diperpendek menjadi rangkuman satu halaman semata. Ringkasan dari dua investigasi tambahan mengandung sejumlah redaksi yang oleh FSC dinyatakan dilakukan “atas ketidaksetujuan dari Korindo”.
Meskipun begitu, laporan parsial ini tetap memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan, dengan kesimpulan bahwa Korindo bersalah dalam tidak mengindahkan standar FSC dengan melanggar hak-hak masyarakat asli, melakukan konversi lahan hutan alami secara signifikan, dan merusak sejumlah besar wilayah dengah High Conservation Value (nilai konservasi tinggi/HCV). Laporan ini memperlihatkan tentang perusakan lebih dari 30.000 hektar hutan hujan dan habitat spesies terancam punah selama lima tahun ke belakang (lebih dari 50.000 hektar secara keseluruhan), kegagalan berulang dalam memenuhi Free, Prior, and Informed Consent (kesediaan sukarela tanpa paksaan/FPIC) masyarakat asli mengenai pembangunan di lahan mereka, kerusakan permanen pada ekosistem dan batas air yang berujung pada hilangnya akses masyarakat pada kebutuhan dasar mereka termasuk tanah, pangan, air, serta penghidupan, dan pembayaran tidak layak pada masyarakat atas sumber daya alam mereka. Atas hasil dari temuan-temuan ini, Complaints Panel merekomendasikan “Pemberhentian asosiasi Korindo dengan FSC dikarenakan oleh bukti-bukti jelas dan meyakinkan mengenai pelanggaran THR [Traditional and Human Rights/Hak Asasi Manusia dan Tradisi] (di samping konversi lahan signifikan)” seperti dinyatakan pada laporan Analisis Sosial yang dirilis FSC pada hari ini (halaman 41).
Meski ada rekomendasi tersebut,, Dewan FSC memutuskan untuk mencapai persetujuan dengan Korindo dalam upaya dan peningkatan remediasi. Pada Juli 2019, Dewan FSC mengumumkan bahwa kelanjutan asosiasi Korindo dengan FSC “bergantung kepada kepatuhan Korindo terhadap ketentuan ketat penanggulangan dan perbaikan sosial dan lingkungan. Pada hari ini, FSC menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan tersebut.
Upaya remediasi yang dipaparkan hari ini tidak proporsional dengan pelanggaran ekstrim yang diungkapkan di laporan investigasi,’ ungkap Lapidus. Khususnya, mereka tidak memuat penanggulangan dan peraikan untuk 50.000 hektar lahan hutan hujan yang dibuka oleh Korindo beserta kerusakan yang dihasilkannya pada sungai dan ekosistem, yang tentu melanggar standar FSC. Patut diperhatikan juga bahwa aksi pertama yang Korindo lakukan setelah mencapai persetujuan dengan FSC adalah mengintimidasi FSC untuk menyensor rincian mengenai pelanggaran-pelanggaran yang mereka perbuat serta dampaknya pada masyarakat. Sederhananya, Korindo tidak memiliki keseriusan dalam bertanggung jawab penuh atas pelanggaran yang dilakukannya terhadap standar FSC.
Pernyataan FSC menyatakan bahwa upaya remediasi spesifik akan ditentukan oleh proses “roadmap” bersama stakeholder-stakeholder yang dipimpin oleh FSC. Hingga saat ini, FSC belum merilis informasi lebih lanjut mengenai proses ini.
Pada bulan September, ketika FSC pertama kali menunda publikasi material ini, tuntutan Mighty Earth untuk akuntabilitas dan transparansi juga diserukan oleh organisasi-organisasi masyarakat di Papua:
“Korindo telah merusak tanah dan penghidupan masyarakat tanpa persetujuan, merampas sumber daya alam masyarakat lokal, melakukan kekerasan dan intimidasi pada masyarakat, serta mencemari sungai mereka—sembari mempekerjakan sejumlah besar orang dari luar Papua. Korindo juga tidak menganggap serius tanggung jawab sosial perusahaannya,” ungkap Pastor Anselmus Amo dari SKP-KAMe-Merauke, organisasi HAM berbasis Papua. “FSC harus melakukan konsultasi langsung dengan masyarakat yang terpengaruh dampak praktik mereka untuk mengerti lebih baik mengenai operasinya yang merugikan dan pandangan masyarakat lokal soal kompensasi dan remediasi yang adil. Kami siap untuk membantu resolusi dari konflik berkepanjangan ini””
“Selama dua dekade, praktik perusakan lahan masyarakat asli yang dilakukan oleh Korindo telah lolos dari pemberitaan, dengan Korindo yang memposisikan diri di media sebagai penyelamat masyarakat Papua,” ungkap Franky Samperante dari Yayasan Pusaka, organisasi yang berjuang untuk mempertahankan hak kepemilikan tanah adat di Papua. “Dunia perlu mengetahui kenyataan tentang apa yang terjadi di Papua dan Maluku Utara.”
“Korindo sebelumnya telah berupaya untuk mengemas konklusi FSC sebagai pembebasan dari tuduhan, tetapi temuan yang dirilis pada hari ini membuktikan bahwa klaim tersebut sepenuhnya tidak benar,” ujar Lapidus. “Jika Korindo memang bersungguh-sungguh ingin membersihkan reputasinya yang tercemar, ia harus berhenti menyangkal kesalahannya, memberlakukan transparansi, mengindahkan standar remediasi dan kompensasi FSC, serta menyelesaikan isu keluhan masyarakat—termasuk dengan cara mengembalikan tanah adat. Sebelum Korindo melakukan hal-hal tersebut, tidak seharusnya ada perusahaan yang melakukan bisnis dengan Korindo”.
“FSC harus berhenti berlaku sebagai pembela industri dan mempublikasikan temuannya secara utuh. Masyarakat yang terkena dampak dan konsumen Korindo layak mengetahui kebenaran. FSC harus secapatnya melakukan proses memperoleh solusi untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, dengan konsultasi penuh dari masyarakat yang terpengaruh,” ujar Lapidus.
Sejumlah kutipan yang mengungkapkan fakta dari laporan publik (penekanan ditambahkan) termasuk:
“Rekomendasi dari Complaints Panel dipaparkan secara jelas dalam ringkasan eksekutif laporan mereka (hal. 8-9): bahwa asosiasi FSC dengan Korindo harus dihentikan dikarenakan oleh bukti-bukti jelas dan meyakinkan mengenai pelanggaran THR [Traditional and Human Rights/Hak Asasi Manusia dan Tradisi] (di samping konversi lahan signifikan).”
‘Konversi dianggap signifikan dikarenakan skala sebesar lebih dari 30.000 hektar di antara faktor lainnya, disebabkan oleh kegagalan melindungi area vegetasi alami dan dampak yang dihasilkan terhadap masyarakat lokal, terutama kegagalan kompensasi pemilik lahan secara layak untuk kayu gelondongan yang diambil.”
“Satu-satunya kesimpulan yang mungkin diambil adalah bahwa telah dilakukan pelanggaran ekstensif terhadap hak-hak yang merupakan bagian dari sistem FSC, juga standar-standar sejenis…antara lain hak tanah, hak FPIC, dan hak yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.”
‘Sebagai hasil dari pelanggaran-pelanggaran ini, masyarakat yang terpengaruh telah mengalami kerugian serius. Hal ini meliputi ancaman dan dalam beberapa kasus penggunaan kekerasan, dalam suasana intimidatif berkelanjutan (melebihi situasi keamanan lokal yang berlaku); ketidakmampuan untuk memberlakukan hak mereka untuk menentang konsesi; dan kompensasi yang sangat tidak sebanding, diterima oleh sangat sedikit anggota masyarakat, dengan sedikit pengetahuan atau partisipasi sejumlah besar masyarakat. Seperti yang disimpulkan Complaints Panel FSC, analisis tambahan ini menemukan bahwa terdapat dasar yang kuat dan mencukupi untuk diasosasi seluruh perusahaan yang terlibat dengan pelanggaran-pelanggaran serius ini.’
“Aktivitas Korindo meliputi pembukaan lahan dengan luas signifikan di Hutan Hujan Dataran Rendah New Guinea Selatan yang menurut klasifikasi Global 200 merupakan lahan terancam/kritis…Selain itu, konversi yang dilakukan kemungkinan besar merusak sejumlah area yang menyediakan sumber daya alam yang penting bagi masyarakat lokal.”
“Terdapat bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa HCV ini, dalam segala aspek, telah rusak. Usaha rehabilitasi akan mendorong pemulihan, tapi dalam konteks ekologis, lanskap ini telah berubah secara permanen karena aktivitas komersial Korindo.”
“Pembukaan area tepi pantai (aliran air, sungai, mata air, dan pinggir danau) tidak konsisten dengan hukum Indonesia.”
“Transformasi hampir keseluruhan dari semenanjung selatan Pulau Halmahera dari gabungan antara hutan basah Maluku diselingi dengan kultivasi berganti dan hutan kelapa kecil hingga produksi minyak kelapa sawit monokrop berskala besar memiliki pengaruh yang signifikan bagi lanskap. Bukti dan kronologi dari perubahan permanen pada lanskap sangat jelas dan singkat…Hilangnya HCV 1 seharusnya dianggap sebagai kerusakan karena area tersebut tidak memungkinkan untuk dikembalikan pada kondisi semula atau direhabilitasi. Konversi dari konsesi PT GMM memberikan situasi yang unik karena ia telah mengubah lanskap seluruh bagian selatan pulau yang juga mendominasi seluruh bagian utara area tepi pantai.”
Perusahaan juga direkomendasikan untuk memulai proses pemulihan formal dengan masyarakat yang bersangkutan. Laporan dari Complaints Panel telah secara rinci memverifikasi dan menjelaskan pola lebih luas dan tindakan individual pelanggaran yang terjadi, seperti yang sebelumnya telah dideskripsikan dan dikumpulkan dengan sejumlah besar bukti pendukung di dalam laporan asli dan pengaduan. Tidak ada lagi ruang untuk meragukan bahwa sejumlah pelanggaran ini memang benar terjadi.’ ‘Tidak ada alasan apapun untuk menunda lebih jauh proses pemulihan yang kini diharuskan, berdasarkan dari dialog bersama masyarakat yang terpengaruh sebagai respon dari berbagai pelanggaran yang telah berulang kali teridentifikasi, terkait akuisisi lahan, proses FPIC dan perlindungan HCV. Proses pemulihan harus dimulai bersama dengan seluruh masyarakat yang terpengaruh, seperti yang dijabarkan pada dokumen ini telah mengutarakan ketidakbahagiaan, keluhan, dan frustrasi terhadap dampak dari operasi, dan/atau tuduhan subtansial mengenai pelanggaran THR [Traditional and Human Rights/Hak Asasi Manusia dan Tradisi] mereka’.
Baca kutipan dan latar belakang lebih lanjut di sini