Proyek Plta PT Nshe di Tapanuli Dibiayai dan Dimiliki Oleh Tiongkok

Sydney Jones

Press Secretary

[email protected]

Carole Mitchell

Global Communications Director

[email protected]

The coalition to protect the Tapanuli orangutan pushed back against claims that opposition to the Batang Toru dam has only been driven by foreigners. The group pointed out that the state-owned Bank of China is funding the project and the Chinese state-owned construction company Sinohydro is the company building the dam. Those promoting the dam’s construction are falling back on the familiar patter of blaming outsiders for destruction happening in their own countries. But the science is clear: if the dam is built, the Tapanuli orangutan will go extinct. 

Menanggapi pernyataan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang mewakili unsur pemerhati lingkungan hidup, Sony Keraf, mengenai adanya intervensi asing terhadap proyek PLTA PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) yang dinilai tidak pantas, Koalisi Perlindungan Orangutan Tapanuli yang terdiri dari Mighty Earth, organisasi asal Amerika Serikat yang memang fokus pada pelestarian hutan tropis termasuk biota di dalamnya bersama 3 LSM Indonesia yakni Center of Orangutan Protection (COP), Orangutan Information Centre (OIC) dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) menyatakan bahwa melindungi spesies langka, terlebih baru ditemukan dan terancam habitatnya tanggung jawab bersama.

Panut Hadisiswoyo, Founding Director Orangutan Information Center, juga membantah bahwa anggapan intervensi asing dalam upaya penutupan proyek tersebut dinilai tidak pantas. Bahkan Panut membandingan dengan pendanaan dan kepemilikan proyek PLTA PT NSHE yang berasal dari Tiongkok.

“Ironisnya, apakah pembiayaan proyek oleh Bank of China dan kepemilikan oleh perusahaan hydroelectric raksasa dari Tiongkok, Sinohydro bukan termasuk intervensi asing? Sebagai investor, tentunya memiliki hak dalam kebijakan dari proyek tersebut,” ujar Panut. “Bank of China sendiri menyatakan dalam respon terhadap tekanan organisasi lingkungan bahwa Tiongkok mendukung perlindungan lingkungan secara global dan menegakkan prinsip pembiayaan hijau. Ini berarti bahwa Tiongkok mengakui bahwa negara-negara asing memang berkewajiban mendukung pelestarian lingkungan secara global.”

Waduk yang akan dibangun di Sungai Batang Toru, Sumatera Utara bersama perusahaan dari Tiongkok, Sinohydro dengan dana dari Bank of China ini dinilai mengancam spesies orangutan terbaru dan mata pencaharian penduduk asli di sana.

“Ketika kami mendukung tenaga air dengan teknik run-of-the river, bendungan yang dibangun di Batang Toru tidak sesuai dengan definisi tersebut. Saat pemerintah menggalakan pariwisata melalui kampanye ‘Wonderful Indonesia’, kita semua tidak bisa membiarkan proyek pembangunan PLTA Batang Toru ini mengancam kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli – bagian dari warisan alam Indonesia yang menakjubkan dan baru saja ditemukan,” Glenn Hurowitz, CEO Mighty Earth menjelaskan.

Kecaman terhadap pembangunan proyek PLTA Batang Toru bukan tanpa alasan. Selain dari ancaman kepunahan spesies yang hanya hidup di hutan Batang Toru ini, ada banyak kekhawatiran jangka panjang yang akan terjadi ketika PLTA tersebut selesai dibangun, diantaranya lokasi PLTA berada di dalam zona merah gempa, daerah hilir sungai Batang Toru memiliki tingkat kerawanan banjir yang tinggi, berkurangnya debit air bagi masyarakat bantaran sungai, khususnya di hilir yang merupakan lokasi proyek senilai US$ 1,6 juta tersebut. Potensi resiko yang tidak sebanding dengan manfaat dari PLTA tersebut sudah disuarakan sejak awal, namun proyek tersebut tetap dilanjutkan, seolah-olah mengesampingkan pendapat para ahli dan masyarakat.

Orangutan Tapanuli baru dikukuhkan pada awal November 2017 sebagai spesies baru yang berbeda dari Orangutan Sumatera dan Kalimantan setelah ditemukan bayi kembar di Hutan Batang Toru. Para peneliti menilai masih ada harapan untuk menggabungkan habitat Orangutan tersebut di daerah hilir untuk mencegah kepunahan, namun lokasi tersebut menjadi titik utama proyek pembangunan PLTA yang dibangun oleh PT NSHE.

“Saya tidak terkejut dengan tudingan tentang kepentingan asing. Sudah biasa terjadi dalam kontroversi lingkungan hidup. Ketika argumentasi logis sudah tidak dapat dipatahkan lagi, biasa mereka menuding dengan pernyataan politik. Tentang pembabatan hutan membuka perkebunan kelapa sawit misalnya, sudah jelas telah menyebabkan genosida pada Orangutan dan juga menjadi ancaman nyata bagi harimau dan gajah, yang dilakukan malah sibuk tuding sana sini, bukannya menegakkan hukum,” jawab Hardi Baktiantoro, prinsipal Center of Orangutan Protection (COP).

Surat desakan kepada Presiden Joko Widodo dari Koalisi Perlindungan Orang Utan yang disampaikan pada Selasa, 5 Maret 2019 dan diterima oleh Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI Dr. Moeldoko, tidak hanya didukung oleh LSM asing, tapi juga oleh LSM-LSM Indonesia penggiat lingkungan, diantaranya Center of Orangutan Protection (COP), Orangutan Information Centre (OIC), Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), Franky Samperante (PUSAKA), Farwiza Farhan (Yayasan HakA), Kusnadi Oldani (FOKUS – Forum Orangutan Sumatra), Teguh Surya (Madani) dan Karlo Lumban Raja (Sawit Watch).

Sebelumnya, sebanyak 25 ilmuan terkemuka dunia tergabung dalam Allliance of Leading Environmental Researchers and Thinkers (ALERT) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada Selasa, (10/7/18) melalui Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa protes atas proyek pembangunan PLTA tersebut murni karena perjuangan untuk menyelamatkan habitat Orangutan Tapanuli beserta ekosistem di sekitar Batang Toru dari ulah manusia.

“Ini adalah wujud aksi bersama untuk pelestarian ekosistem dan lingkungan khususnya di Batang Toru dan dunia pada umumnya. Jadi menyuarakan perlindungan lingkungan oleh warga atau organisasi asing bukanlah intervensi tapi memang sudah menjadi kewajiban bagi setiap individu yang masih hidup di planet bumi.” lanjut Panut.

Melihat potensi alam di Tapanuli, Sumatera Utara, PLTA bukan lah satu-satunya solusi bagi kebutuhan listrik bagi masyarakat sekitar. Masih banyak opsi lain salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla yang sudah beroperasi dan memiliki total kapasitas sebesar 3×110 MW, dan merupakan salah satu PLTP terbesar di dunia. Jika memang PLTA dianggap sebagai solusi bagi realisasi komitmen Pemerintah Indonesia atas Persetujuan Paris dalam memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim. pemilihan lokasi yang dirasa kurang layak dan terkesan dipaksakan walaupun setelah ada bukti ditemukannya habitat Orangutan langka di area tersebut juga menjadi tanda tanya besar bagi para peneliti, ahli dan organisasi lingkungan sehingga muncul aksi protes atas AMDAL yang dilakukan dan perijinan proyek tersebut.

“Kami percaya pemerintah Indoensia mampu mengambil tindakan untuk melindungi keajaiban alam Indonesia dan spesies yang terancam punah, seperti yang dilakukan tahun 2016 saat rencana pembangunan pembangkit panas bumi di Taman Nasional Gunung Leuser ditolak. Pembicaraan kamu baik itu dengan pemerintah maupun PT NSHE sudah jelas bahwa kami dengan senang hati akan membantu mencari lokasi yang lebih baik untuk run-of-the-river hydropower dan mengembangkan beberapa alternatif lain, termasuk bagaimana menambah kapasitas PLTP Sarulla untuk mencukupi kebutuhan energi di daerah Sumatera Utara dan sekitarnya,” ujar Glenn.(*)

14/Nov/2024
Palm Oil Report 46: Deforestation by Rimbunan Hijau Group and Pure Green Development Sdn Bhd
14/Nov/2024
European Parliament guts and delays EUDR
11/Nov/2024
It’s make or break for European zero deforestation law