Menekan Korporasi Demi Menyelamatkan Hutan Amazon dari Kehancuran

Sydney Jones

Press Secretary

[email protected]

Carole Mitchell

Global Communications Director

[email protected]

Di kala hutan Amazon kembali mengalami gelombang deforestasi, kunci untuk menghentikan tindak eksploitasi tak terkendali ini ternyata dapat ditemukan di Asia Tenggara, di mana kampanye untuk menekan para korporasi serta meminta peningkatan pemantauan pemerintah berhasil memperlambat kerusakan yang disebabkan oleh industri minyak sawit.

OLEH GLENN HUROWITZ • 10 SEPTEMBER 2020
Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Yale Environment 360

Hutan Amazon terbakar lagi. Laju deforestasi bahkan mencapai titik tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Pada bulan Juni, jumlah kebakaran yang dilaporkan meningkat 20 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya, di saat pembakaran hutan Amazon mendominasi pemberitaan media internasional.

Kerusakan yang sebagian besar disebabkan oleh pembakaran hutan untuk membuka lahan untuk industri daging ini telah menyebabkan kepunahan spesies satwa liar, perpindahan masyarakat adat, dan pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah yang besar. Baik di kawasan hutan Amazon maupun secara global, dampak besar deforestasi tampak begitu jelas: Kehancuran ekosistem alami, dan semakin mendekatnya populasi manusia dengan satwa liar, menjadi faktor risiko utama penyebab penyakit yang menular dari hewan ke manusia dan kemungkinan besar berhubungan dengan pandemi Covid-19 yang saat ini tengah terjadi, sama halnya dengan merebaknya penyakit Ebola dan AIDS beberapa tahun silam. Tak hanya itu, kabut beracun yang dihasilkan oleh penggundulan dan kebakaran hutan membuat orang jauh lebih rentan terhadap penyakit pernapasan seperti virus corona.

Meskipun dampak krisis deforestasi hutan Amazon telah meluas, hal ini tentunya merupakan sesuatu yang seharusnya dapat dihindari. Ambillah pelajaran dari belahan dunia lain, yang membuktikan bahwa kita dapat mengubah industri swasta dan memperbaiki tata kelola pemerintahan guna mengurangi laju deforestasi secara drastis.

Di Asia Tenggara, reputasi buruk industri minyak sawit memang layak didapatkan. Dalam kurun waktu beberapa dekade, mereka telah membakar dan membuldoser kawasan hutan seluas lebih dari 30.000 mil persegi dan menggantinya dengan perkebunan monokultur untuk membuat minyak nabati, sabun, dan bahan bakar hayati (biofuel) berbiaya murah. Jika Anda terbang di atas jantung perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, Anda melihat keluar jendela, dan tak dapat melihat apa pun selain perkebunan kelapa sawit yang membentang luas di kawasan yang dulunya merupakan habitat alami orang utan dan harimau. Bagi banyak orang, tindak deforestasi ini lebih dari sekadar statistik: Aksi ini merepresentasikan kehidupan masyarakat adat yang tanah dan mata pencahariannya telah dirampas begitu saja.

Namun, terlepas dari semua tantangan dan risiko yang ada, analisis yang dibuat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Chain Reaction Research menunjukkan bahwa tingkat deforestasi untuk minyak sawit telah turun secara drastis dari angka satu juta hektar per tahun menjadi kurang dari 250.000 hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Meskipun masih angka tersebut masih terlalu tinggi, penurunan ini dapat disebut sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa. Jika menggunakan iklim sebagai analogi, hal ini layaknya menghilangkan polusi dari lebih dari 80 pembangkit listrik tenaga batu bara. Selain itu, kemajuan ini juga mampu menyelamatkan nyawa ribuan orang utan, kanguru pohon dan hewan langka lainnya.

Faktanya, kemajuan ini terjadi karena deforestasi sebenarnya tidak diperlukan untuk pertumbuhan pertanian: Ada lebih dari satu miliar hektar lahan di seluruh dunia yang sebelumnya telah dipersiapkan dan dapat digunakan untuk memperluas kawasan pertanian tanpa harus mengancam ekosistem setempat. Sebagian besar ekspansi pertanian memang terjadi di lahan-lahan ini, dan hanya sebagian kecil produsen yang melakukan ekspansi melalui deforestasi.

Industri minyak sawit berhasil membuat kemajuan yang substansial karena para pelanggan dan pemodal memaksa mereka untuk berubah. Perusahaan perkebunan membutuhkan pelanggan dan pemodal internasional untuk mendanai operasi mereka. Setelah menghadapi kampanye LSM mengenai keterlibatan mereka dalam tindak deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia, sejumlah perusahaan seperti Unilever dan Dunkin’ Donuts mengadopsi kebijakan yang melarang pembelian dari pemasok yang terlibat dalam deforestasi untuk minyak sawit. Tekanan tersebut menciptakan sebuah dasar bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk segera bertindak.

Pemantauan oleh industri, pemerintah, dan LSM seperti kami adalah alat utama penegakan hukum. Setiap bulan, organisasi kami, Mighty Earth, untuk memantau wilayah konsesi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan satelit dan analisis rantai pasokan untuk mencari bukti terjadinya tindak deforestasi, dan kemudian mengajukan peringatan publik kepada perusahaan-perusahaan besar pembeli minyak sawit.

Biasanya, pihak perusahaan bertindak dalam waktu dua hingga tiga minggu setelah menerima informasi tersebut, lalu memutus kontrak atau melakukan intervensi dengan pemasok mereka sebagai cara untuk menghentikan deforestasi. Jika tidak, kami akan membagikan informasi ini dengan para pelanggan dan pemodal mereka. Di bawah pengawasan seperti ini, perusahaan minyak sawit terbesar dan paling terkenal sekalipun tahu bahwa baik deforestasi maupun perampasan tanah tidak sejalan dengan upaya untuk mempertahankan atau memperluas akses pasar.

Kini, produksi minyak sawit bebas deforestasi telah meluas. Meskipun kami masih menemukan sejumlah perusahaan yang melakukan tindak deforestasi seluas lebih dari 2.500 hektarseperti Samling Group asal Malaysia dan Mulia Sawit Agro Lestari (MSAL) Group asal Indonesia – jumlahnya relatif sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu.

Pada akhirnya, kemajuan ini, meski belum sepenuhnya selesai, bertumpu pada fakta bahwa para pelanggan dan pemodal telah mengirimkan sinyal jelas kepada korporasi raksasa: Jika Anda melakukan deforestasi untuk mendapatkan kelapa sawit, maka Anda harus berhenti beroperasi. Mereka tahu bahwa jumlah pelanggan yang ingin membeli sebatang sabun atau sekotak kue dari perusahaan yang terlibat dengan aksi perusakan habitat orang utan atau pencurian tanah masyarakat adat tentu tidaklah banyak.

Beragam perubahan di sektor swasta ini, ditambah dengan rasa kekhawatiran masyarakat mengenai maraknya aksi deforestasi serta adanya insentif dari donor internasional, juga mendorong meningkatnya tindakan pemerintahmeskipun belum konsisten untuk memelihara dan melindungi kawasan hutan. Berbagai perusahaan yang selama bertahun-tahun telah melobi dan menyuap untuk melemahkan penegakan aturan lingkungan hidup sekarang mulai mengadopsi kebijakan sukarela yang lebih kuat, dan tiba-tiba memiliki insentif untuk memastikan bahwa para pesaing mereka juga tunduk pada kebijakan yang sama kuatnya.

Jumlah hilangnya hutan primer di Indonesia mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. GLOBAL FOREST WATCH / WORLD RESOURCES INSTITUTE

Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, muncul sejumlah kebijakan pro-perlindungan hutan yang datang langsung dari pemerintah, seperti: penguatan moratorium deforestasi di tahun 2011, pembasahan kembali ratusan ribu hektar lahan gambut kaya karbon, dan pembekuan perizinan untuk konsesi kelapa sawit baru. Ketika kebakaran hutan sempat merebak tahun lalu di sejumlah kawasan di Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo bergerak cepat untuk menutup lebih dari 60 wilayah konsesi yang terbakar dan mengerahkan militer untuk turut membantu.

Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah turut mempunyai andil besar terhadap penurunan angka deforestasi di Indonesia, yang pada tahun 2019 mencapai level terendah sejak tahun 2003 menurut data dari Global Forest Watch. Meskipun demikian, situasi ini tak seterusnya positif. Setelah terdapat indikasi bahwa pemerintah Indonesia telah mengalihkan dana pencegahan dan pemadaman kebakaran untuk aksi tanggap darurat Covid-19, peringatan titik api dari laboratorium Global Land Analysis and Discovery (GLAD) di Universitas Maryland dan analisis oleh Greenpeace menunjukkan bahwa tindakan deforestasi ilegal di Indonesia melonjak tajam tahun ini. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia juga tengah mempertimbangkan sebuah undang-undang yang akan melucuti upaya perlindungan lingkungan dengan dalih pemulihan Covid-19. Undang-undang baru ini akan mengubah, menghilangkan izin lingkungan yang bersifat wajib, menghapus opsi hukum bagi masyarakat yang menolak proyek baru karena alasan lingkungan, dan membebaskan pihak korporasi dari tanggung jawab hukum atas kebakaran yang terjadi di wilayah konsesi mereka. Menurut analisis dari LSM masyarakat sipil Indonesia, Madani, undang-undang ini juga dapat menghapus perlindungan hukum bagi hutan di berbagai provinsi di Indonesia. Semua perkembangan baru ini memang berisiko memicu kemunduran yang signifikan, namun tetap tak menutup kemungkinan adanya kemajuan di masa depan. Tantangan ini justru mengingatkan kita akan perlunya kewaspadaan dan pemberian tekanan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab secara berkelanjutan.

Asia Tenggara hanyalah salah satu contoh keberhasilan metode ini. Di Afrika, di bawah tekanan dari sejumlah kampanye serupa menyebabkan angka deforestasi di Ghana dan Pantai Gading turun hingga setengahnya tahun lalu. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh industri cokelat yang mulai menegakkan komitmen untuk menghentikan pengambilan kakao dari taman nasional dan kawasan lindung. Industri ban dan karet juga memutuskan untuk bergabung dengan masyarakat sipil dan berkomitmen demi meraih kemajuan serupa di beragam kawasan budidaya karet, terutama di Asia Tenggara dan Afrika Barat. Di hutan Amazon di Brasil, industri pakan ternak setempat kini tunduk pada moratorium deforestasi kedelai yang berlaku sejak 2006. Moratorium ini berhasil memangkas jumlah keseluruhan kedelai yang ditanam di lahan terdeforestasi hingga kurang dari satu persen tanpa mempengaruhi laju pertumbuhan industri tersebut.

Walaupun semua kemajuan ini telah terjadi, kita tidak akan bisa menghalau deforestasi atau perubahan iklim secara lebih efektif hingga industri daging di seluruh dunia berbenah – atau masyarakat bersama-sama mengurangi jumlah konsumsi daging mereka. Daging merupakan penyebab deforestasi terbesar, di mana pakan sapi dan ternak terbukti mendorong lebih banyak deforestasi jika dibandingkan dengan komoditas lainnya. Sebagian besar aksi deforestasi terkait daging terjadi Amerika Selatan. Kegagalan Presiden Brasil Jair Bolsonaro untuk menegakkan perlindungan lingkungan juga dinilai telah memicu meningkatnya kelalaian perusahaan daging raksasa.

Jika kita berbicara lebih lanjut mengenai industri daging, masih terdapat sejumlah perusahaan yang sebelumnya telah memberlakukan beragam kebijakan demi menghapus deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia di sektor minyak sawit, kertas dan kakao yang sayangnya menolak saat dituntut untuk melakukan hal yang sama pada bisnis daging mereka.

Perusahaan penjual daging seperti Costco, Stop & Shop, dan Groupe Casino Prancis sama-sama telah membuat komitmen untuk menghapus deforestasi. Mereka telah menulis surat, mengadakan pertemuan, dan menyatakan rasa kepedulian mereka terhadap para pemasok daging. Tetapi desakan halus tentu saja belum cukup kuat untuk memaksa para perusahaan daging raksasa untuk berubah.

Bahkan, setelah tentang keterlibatan mereka dalam penggundulan hutan, kebakaran, dan perampasan lahan terungkap berulang kali, raksasa daging Cargill dan JBS masih tetap menolak permintaan pelanggan untuk berhenti membeli daging dari pemasok yang ketahuan melakukan pembakaran hutan. Tahun lalu, kepala operasi bisnis dan rantai pasokan Cargill Ruth Kimmelshue menginformasikan kepada saya bahwa perusahaannya tidak menganggap bahwa pelanggan mereka serius saat berbicara mengenai isu lingkungan. Ia juga menambahkan bahwa meskipun sering kali melayangkan protes, para pelanggannya masih terus membeli produk-produk Cargill hingga milyaran dolar.

Sebagai contoh, McDonald’s telah berjanji untuk menindak aksi deforestasi seperti apa pun, tetapi masih tetap menjadi salah satu pelanggan terbesar Cargill. Memang, pada dasarnya McDonald’s merupakan etalase bagi produk-produk Cargill. Cargill tak hanya memasok ayam dan daging sapi untuk perusahaan makanan cepat saji raksasa tersebut. Cargill juga bertanggung jawab untuk menyiapkan dan membekukan burger dan McNuggets, mengirimkannya ke McDonald’s, yang kemudian hanya memanaskan dan menyajikannya kepada pelanggan. Jaringan supermarket Ahold Delhaize – yang memiliki Stop & Shop, Food Lion, Giant, Hannaford, serta merek-merek lainnya – sempat menyatakan keinginannya untuk mengatasi permasalahan deforestasi. Meskipun demikian, mereka meluncurkan sebuah usaha patungan dengan Cargill senilai $ 100 juta pada tahun 2018 lalu untuk mendirikan sebuah pabrik pengemasan daging seluas 200.000 kaki persegi di Rhode Island yang berfungsi sebagai pemasok utama Ahold Delhaize di AS; mereka juga membeli daging hingga ratusan juta dolar dari JBS, salah satu perusahaan pendorong deforestasi terbesar di Brasil.

Akan tetapi, ketidakacuhan ini kemungkinan akan segera berubah: Pada bulan Desember, Nestlé mengumumkan akan berhenti membeli kedelai dari Cargill Brasil, meskipun Nestlé tampaknya masih terus berbisnis dengan Cargill di sektor lain. Dan pada musim panas ini, Grieg Seafood secara eksplisit mengeluarkan Cargill dari daftar penerima obligasi hijau senilai $ 105 juta karena dugaan tindak deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Jika perusahaan-perusahaan lebih berani untuk memberikan konsekuensi komersial kepada para pemasok mereka, krisis seperti terbakarnya hutan Amazon dapat segera hilang dari dunia ini. Seperti halnya industri lain, industri agribisnis tidak akan mampu melakukan deforestasi jika tidak kita biarkan.

Setahun sejak pembakaran di hutan Amazon menjadi buah bibir global, sejumlah merek besar ikut menyatakan komitmennya untuk melawan deforestasi di dekade yang akan datang. Namun kebanyakan dari perusahaan-perusahan tersebut masih lebih banyak berbicara, bukan bertindak, dan kami tahu bahwa para pelaku deforestasi akan terus melakukan perusakan lingkungan selama mereka masih dapat meraih keuntungan.

Cara satu-satunya untuk mengakhiri semua kerusakan dan kehancuran ini adalah dengan membuat aksi destruktif tersebut tak lagi menguntungkan. Seperti halnya minyak sawit, titik lemah para pelaku deforestasi adalah pelanggan mereka – supermarket dan pemasok yang telah berkomitmen untuk menjunjung tinggi keberlanjutan serta reputasi mereka demi mempertahankan pelanggan. Masyarakat awam mungkin tidak pernah mendengar nama Cargill, namun mereka tetap bisa memilih di supermarket mana mereka berbelanja. Perusahaan-perusahaan seperti Costco atau Ahold Delhaize sangat membutuhkan kepercayaan dari para pelanggan mereka dan tentunya tak ingin nama baik mereka terkait dengan kehancuran hutan Amazon. Baik karena dedikasi yang tulus maupun karena tekanan yang keras dari LSM dan pelanggan mereka sendiri, para perusahaan ini harus segera bertindak keras dan berani untuk membatalkan kontrak. Ketika terjadi pergerakan di bisnis ini, kita akan mulai melangkah lebih maju menuju transformasi industri yang lebih luas.

10/Jun/2024
Mayawana Persada – Laporan Pemantauan
22/Aug/2022
Body count rises to sixteen at controversial Batang Toru dam in Indonesia after tunnel collapses.
15/Mar/2022
Perusahaan Kertas Korea menjarah hutan hujan terakhir sembari mengklaim operasinya ramah lingkungan