Laporan: Michelin Tutupi Tindak Deforestasi Hutan dalam Proyek Karet “Ramah Lingkungan” di Indonesia

Sydney Jones

Press Secretary

[email protected]

Carole Mitchell

Sr. Director Communications

[email protected]

Français, English

Laporan terbaru menguak fakta bahwa perusahaan ban terbesar di dunia tersebut tengah mencari dana hingga jutaan dolar dari investor untuk memulihkan kawasan hutan yang dirusak oleh mitra bisnisnya sendiri

JAKARTA- Organisasi kampanye perlindungan lingkungan Mighty Earth hari ini merilis sebuah laporan yang menuduh bahwa perusahaan ban terbesar di dunia, Michelin, ikut terlibat dan telah menutup-nutupi tindak deforestasi berskala industri di kawasan hutan hujan seluas lebih dari 2.500 hektar menjelang peluncuran proyek karet alam berkelanjutan yang ‘ramah lingkungan’ di Sumatra, Indonesia. Proyek patungan tersebut, yang dilaksanakan bersama sebuah perusahaan yang ‘berada di bawah naungan Barito Pacific Group’, saat ini tengah mencari investasi tambahan senilai $120 juta dari investor hijau.

Bukti dalam laporan baru tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan hujan seluas 2.590 ha – setidaknya tujuh kali lebih luas dari Central Park di kota New York, atau setara dengan luas pusat kota Paris – telah digunduli oleh sejumlah anak perusahaan mitra Michelin di Indonesia dalam kurun waktu 33 bulan hingga Januari 2015 guna membuka kawasan perkebunan karet alam Proyek Royal Lestari Utama (RLU) yang berfokus pada konservasi alam dan satwa liar di Jambi, Sumatra. Mighty Earth juga menemukan bahwa sekitar 1.298 hektar dari keseluruhan kawasan yang dirusak tersebut terletak di dalam Kawasan Konservasi Satwa Liar, dan saat ini telah ditanami ribuan pohon karet di bawah pengawasan Proyek RLU.

Berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berada di tengah pulau Sumatra, kawasan hutan hujan tropis yang kaya akan sumber daya alam dan satwa liar ini telah menjadi tempat tinggal bagi dua masyarakat adat yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil hutan – Talang Mamak dan Orang Rimba – serta berfungsi sebagai habitat kritis bagi sejumlah spesies hewan yang terancam punah seperti gajah Sumatra, harimau Sumatra dan orang utan Sumatra yang dilepasliarkan.

Michelin Group adalah perusahaan ban terbesar di dunia yang menggunakan karet alam sebagai bahan utama dari ban kendaraan yang diproduksi dan dijualnya di seluruh dunia. Sejak pertama diluncurkan, Proyek RLU telah menerima pendanaan dari ‘obligasi hijau’ berkelanjutan pertama di Asia senilai $95 juta, dana publik dari pemerintah Norwegia, Inggris dan AS, dan akan segera mendapatkan pendanaan lebih lanjut dari obligasi hijau kedua senilai $120 juta.

“Ini adalah skandal deforestasi yang sangat besar,” kata Alex Wijeratna, Direktur Kampanye Mighty Earth dan juga penulis laporan tersebut. “Bukti kami yang kami temukan menunjukkan terjadinya tindak deforestasi berskala industri di ribuan hektar hutan hujan yang kaya akan satwa liar di Jambi menjelang disetujuinya Proyek RLU pada akhir tahun 2014. Michelin mengetahui adanya aksi yang mengerikan ini, tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya, dan sebaliknya memilih untuk menyematkan label ‘ramah lingkungan’ pada Proyek RLU demi menarik investor obligasi hijau yang sejak saat itu telah menginvestasikan jutaan dolar ke dalam proyek tersebut.”

Pada bulan Mei 2015, Michelin secara resmi mengumumkan Proyek RLU seluas 88.000 hektar yang dijalankan oleh sebuah perusahaan Indonesia yang berada ‘di bawah naungan Barito Pacific Group’. Saat itu, Michelin mengatakan bahwa wilayah konsesi Jambi telah “…telah dirusak oleh deforestasi yang tidak terkendali” dan menyalahkan pelaku luar seperti perambah, pekerja pendatang dan kelompok kriminal terorganisir.

Sebaliknya, laporan yang diterbitkan oleh Mighty Earth menyatakan bahwa mitra usaha patungan Michelin sendiri – yaitu anak perusahaan RLU yang dikenal sebagai PT Lestari Asri Jaya (LAJ) – yang melakukan sebagian besar perusakan ini melalui kegiatan pembukaan hutan berskala industri, terutama di dalam wilayah konsesi LAJ 4. Laporan yang berjudul Complicit: An Investigation into Deforestation at Michelin’s Royal Lestari Utama Project in Sumatra, Indonesia tersebut menunjukkan bahwa pada bulan April 2012 terdapat kawasan hutan utuh seluas 3.966 hektar yang menutupi hampir seluruh wilayah studi kasus LAJ 4. Pada saat proyek usaha patungan RLU dimulai pada bulan Januari 2015, hanya sekitar 138 hektar dari keseluruhan kawasan hutan tersebut yang masih tersisa. Analisis citra satelit resolusi tinggi oleh Mighty Earth menunjukkan bahwa penanaman karet berskala besar telah menggantikan kawasan hutan di wilayah tersebut.

Mighty Earth telah melakukan korespondensi dengan pihak Michelin dan RLU di Indonesia untuk mencari kebenaran mengenai penelitiannya di Jambi yang dimulai sejak bulan September 2019 serta meminta agar sejumlah dokumen serta laporan uji kelayakan sosial dan lingkungan dari bulan Oktober 2013 dipublikasikan secara umum. Kedua perusahaan tersebut berulang kali menolak permintaan Mighty Earth, meskipun fakta membuktikan bahwa dana publik telah digunakan untuk mendukung proyek tersebut.

“Michelin telah melakukan serangkaian kunjungan lapangan dan uji kelayakan di Jambi sejak awal Oktober 2013, tetapi mereka menolak semua permintaan kami untuk melakukan transparansi publik dan malah menyembunyikan semua hasil uji kelayakan tersebut,” kata Wijeratna.

“Sejauh ini, investor publik dan swasta telah menyuntikkan dana ‘obligasi hijau’ atau ‘obligasi keberlanjutan’ sejumlah hampir $100 juta ke Proyek RLU di Indonesia, dan saat ini mereka tengah dimintai dana tambahan senilai $120 juta,” kata Wijeratna. “Kami menginginkan adanya penyelidikan independen untuk mengungkap semua hal buruk yang terjadi di sana sebelum proyek ini dimulai. Kami juga menyerukan agar dana dari ‘obligasi hijau’ kedua tidak diturunkan sebelum semua fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Jambi dirilis ke ranah publik.”

Proses uji kelayakan dan konsultasi masyarakat yang tidak jelas juga memiliki konsekuensi sosial yang berkepanjangan di Jambi. “Para petani melaporkan adanya konflik kepemilikan lahan dengan anak perusahaan lokal RLU di lapangan,” kata Fenna Otten dari departemen Geografi Manusia Universitas Göttingen, yang melakukan penelitian lapangan di desa Muaro Sekalo pada tahun 2017. “Para penduduk desa mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menyerahkan tanah mereka kepada pihak perusahaan. Mereka merasa dipaksa dan tidak berdaya. Michelin tidak sepantasnya mendapatkan pendanaan obligasi hijau ataupun pujian dari masyarakat karena mereka telah menipu begitu banyak pihak melalui proyek pembangunan yang mereka sebut berkelanjutan ini. ”

Pada pertengahan bulan September lalu, masyarakat kembali melakukan demonstrasi di Tebo, Jambi untuk memprotes perampasan tanah secara tidak adil yang dilakukan oleh Proyek RLU.

“Anda tidak akan bisa menghentikan deforestasi ataupun perampasan kecuali Anda tahu persis siapa yang bertanggung jawab,” kata Wijeratna. “Ini merupakan bagian dari masalah transparansi yang lebih luas, baik dengan Michelin maupun industri karet secara keseluruhan. Michelin bahkan tidak mau mengungkapkan dari perusahaan mana pasokan karetnya berasal. Jika Michelin benar-benar ingin memenuhi target nol-deforestasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti yang mereka katakan, maka Michelin harus berterus terang mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Jambi, dan menggunakan posisinya sebagai pemimpin industri untuk mendorong transparansi yang lebih besar di seluruh rantai pasokan karet.”

10/Jun/2024
Mayawana Persada – Laporan Pemantauan
22/Aug/2022
Body count rises to sixteen at controversial Batang Toru dam in Indonesia after tunnel collapses.
15/Mar/2022
Perusahaan Kertas Korea menjarah hutan hujan terakhir sembari mengklaim operasinya ramah lingkungan