English Oleh Monica Nirmala
Apa yang baik bagi alam, baik bagi kita. Apa yang menyakiti alam, membawa penyakit bagi kita.
Virus penyebab Covid-19 diperkirakan berasal dari satwa liar. Dalam beberapa bulan, Covid-19 telah menjangkiti 14 juta orang lebih, membunuh lebih dari 600.000 jiwa, dan memorakporandakan ekonomi dunia. Mungkinkah Covid-19 sebenarnya adalah ulah manusia mengganggu keseimbangan alam yang kemudian berbalik mengancam keselamatan kita semua?
Para peneliti mencari tahu asal-muasal Covid-19 dengan mempelajari genetika virus. SARS-CoV-2—virus penyebab Covid-19—diperkirakan berasal dari kelelawar karena kemiripan genomenya. Kelelawar dan virus korona sebetulnya sudah hidup bersama (co-exist) selama jutaan tahun. Virus korona tidak berbahaya bagi kelelawar, tetapi menjadi fatal ketika ia berhasil ”melompat” ke makhluk hidup lain. Pada Covid-19, virus korona diperkirakan melompat dari kelelawar ke trenggiling (sebagai inang perantara), yang kemudian berhasil melompat lagi ke manusia.
Zoonosis—penyakit pada manusia yang berasal dari hewan—tidak datang dengan sendirinya. Bukan secara mendadak kelelawar atau trenggiling hadir dalam hidup manusia, lalu menularkan virus. Namun, manusialah yang memburu, merusak habitat, memperdagangkan, dan mengonsumsi hewan itu secara ilegal.
Lembaga TRAFFIC yang berfokus pada isu perdagangan satwa liar melaporkan, sepanjang 2010-2015, Indonesia pemasok terbesar (83 persen) perdagangan trenggiling ilegal di dunia yang mencapai 10.000 ekor per tahun. Mungkinkah satwa liar yang diperdagangkan di pasar basah di Wuhan—ground zero Covid-19, berasal dari Indonesia?
Covid-19 mungkin yang terburuk, tetapi bukanlah yang pertama. Dalam 30 tahun terakhir, seiring dengan semakin rusaknya alam, bertambahnya populasi manusia, kontaminasi sumber makanan dan air, serta berbagai faktor lain, dunia telah mengalami wabah-wabah baru bermunculan. Beberapa di antaranya flu burung, SARS, ebola, flu babi, HIV-AIDS, dan MERS.
Lembaga United Nations Environment Programme (UNEP) dalam laporan Preventing the Next Pandemic (2020) menyatakan, 75 persen dari penyakit infeksi yang baru muncul (new emerging infectious diseases) berasal dari binatang.
Tak hanya zoonosis
Selain Covid-19, banyak contoh lain yang menggambarkan bahwa ketika manusia menyakiti alam, kita sendiri yang akhirnya jadi sakit. Misalnya, orang Kalimantan percaya bahwa ketika hutan dibabat, penyakit akan muncul, seperti tulah. Para ilmuwan membuktikan apa yang dipercaya orang-orang Kalimantan ini benar.
Ilmuwan Garg (2017) membuktikan bahwa penurunan 1 persen tutupan hutan di Indonesia meningkatkan 10 persen insiden malaria. Bahkan, Chakrabarti (2018) menunjukkan bahwa di Indonesia, bayi pertama dari ibu-ibu yang lingkungannya mengalami kerusakan hutan pada masa kehamilannya memiliki risiko kematian yang lebih tinggi ketimbang anak-anak berikutnya.
Di Kamboja, Pienkowski (2018) meneliti bahwa kerusakan hutan mengakibatkan naiknya diare, demam, dan infeksi saluran pernapasan—penyebab kematian anak balita.
Tak hanya di sekitar hutan, masyarakat di kota pun terdampak.
Secara global, berdasarkan laporan Pollution and Health Metrics oleh Global Alliance on Health and Pollution (2019), polusi akibat industrialisasi dan urbanisasi membunuh 5,3 juta manusia setiap tahun. Di Indonesia, pencemaran udara, air, tanah, dan berbagai bentuk polusi lain diperkirakan membunuh 230.000 orang setiap tahun. Angka ini jauh melebihi korban tsunami mahadahsyat pada 2004 yang masih lekat di ingatan kita. Dan, polusi terus terjadi dari tahun ke tahun.
Protokol Kesehatan
Kenormalan baru berbicara tentang mengadopsi kebiasaan baru demi kehidupan yang aman dan sehat. Melakukan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), serta menghindari 3R (ruangan tertutup, ramai-ramai, dan rumpi jarak dekat) amat penting demi mencegah penularan Covid-19.
Namun, apakah protokol ini cukup untuk menciptakan masa depan yang aman dan sehat? Apakah protokol ini dapat mencegah berulangnya pandemi semacam Covid-19.
Kesehatan kita bergantung tak hanya pada kuatnya sistem pelayanan kesehatan. Dalam bukunya A Call To Be Whole: The Fundamentals of Healthcare Reform, Sowada (2003) menerangkan bahwa pelayanan medis sebenarnya hanya berkontribusi 20 persen pada kesehatan manusia. Lebih dari separuh (55 persen), faktor yang berkontribusi pada kesehatan kita justru berasal dari lingkungan dan sosial, termasuk udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan, dan dukungan orang-orang di sekitar kita.
Sisanya adalah faktor perilaku dan genetik. Oleh karena itu, kesehatan manusia sebetulnya bukan hanya urusan sektor kesehatan semata. Malah ada ungkapan yang berkata bahwa kesehatan itu terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada dokter.
Hikmah hijau Covid-19
Covid-19 dimulai dengan interaksi yang tidak seimbang antara manusia dan alam yang kemudian tersebar oleh keterkaitan global. Kini kita tak mungkin lupa bahwa jarak wabah dari kehidupan kita itu hanya sejauh satu penerbangan.
Dengan 40.000 koneksi penerbangan di seluruh dunia, kejadian di satu pelosok mana pun bisa menyebar ke semua penjuru bumi dalam sekejap. Dan, wabah tidak mengenal batas administrasi, pilihan politik, agama, ataupun ras. Kita semua saling terhubung dan setiap kita bisa terdampak.
Covid-19 adalah satu gejala dari bumi yang sedang sakit. Obatnya, setiap kita perlu berusaha untuk hidup seimbang dengan alam. Pada kenormalan baru, faktor lingkungan perlu menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan—kecil ataupun besar—yang kita ambil, baik secara individu maupun kolektif, di tingkat institusi, daerah, nasional, hingga global. Perambahan hutan ilegal dan perdagangan satwa liar harus berhenti, demi mencegah berulangnya pandemi. Biarkan yang liar tetap hidup di alam liar.
Dengan Covid-19, umat manusia dipaksa berhenti sejenak untuk merenung dan mengambil hikmah. Demi masa depan yang aman dan sehat bagi kita dan anak cucu kita, hidup seimbang dengan alam perlu menjadi ”protokol kesehatan” kita pada era kenormalan baru. Mungkinkah Covid-19 adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada umat manusia untuk mengasihi alam sebelum terlambat?
Monica Nirmala
Alumnus Harvard University, Cendekia Fulbright; Senior Public Health Adviser di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Kalimantan Barat