DISCLAIMER: The Bahasa version of this document is a translation of the original in English, for information purposes only. We have made all reasonable efforts in order to provide accurate translations, however, no translation is perfect and the official text is the English. Any discrepancies or differences created in the translation are not binding for research or citation purposes. In case of a discrepancy, the English original will prevail. If any questions arise concerning the accuracy of the information presented by the translated version of the document, please refer to the English version.
Citation details will be as follows: Koplitz et al 2016 Environ. Res. Lett. 11 094023 Doi: 10.1088/1748-9326/11/9/094023 URL: http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/11/9/094023
Makalah Riset Lingkungan
MAKALAH
Dampak kesehatan masyarakat terhadap kabut asap di Equatorial Asia pada September-Oktober 2015: menampilkan kerangka baru untuk menginformasikan strategi penanggulangan kebakaran untuk mengurangi paparan dari asap yang terbawa angin
Shannon N Koplitz1,9, Loretta J Mickley2, Miriam E Marlier3, Jonathan J Buonocore4, Patrick S Kim1, Tianjia Liu5, Melissa P Sulprizio2, Ruth S DeFries3, Daniel J Jacob1,2, Joel Schwartz6, Montira Pongsiri7 and Samuel S Myers6,8
1 Department of Earth and Planetary Sciences, Harvard University, Cambridge, MA, USA
2 School of Engineering and Applied Sciences, Harvard University, Cambridge, MA, USA
Q2 3 Department of Ecology, Evolution, and Environmental Biology,ColumbiaUniversity,NewYork,NY,USA
4 Center for Health and the Global Environment, Harvard T.H. Chan School of Public Health, Harvard University, Boston, MA, USA
5 Department of Earth and Environmental Sciences, Columbia University, New York, NY, USA
6 Harvard T.H. Chan School of Public Health, Harvard University, Boston, MA, USA
7 Wildlife Conservation Society HEAL Program, Washington, DC, USA
8 Harvard University Center for the Environment, Harvard University, Cambridge, MA, USA
9 Pengarang yang manjadi tujuan korespondensi terkait penelitian
Kata kunci: pembakaran untuk perubahan penggunaan lahan, paparan asap, GEOS-chem adjoint
Materi pelengkap makalah ini tersedia online
Abstrak
Pada September-Oktober 2015, El Niño dan kondisi Indian Ocean Dipole telah mengakibatkan kebakaran besar di Sumatera dan Kalimantan (Borneo Indonesia) sehingga menyebabkan polusi asap pada tingkat yang sangat membahayakan di sepanjang Equatorial Asia. Dalam makalah ini kami melakukan kuantifikasi sumber-sumber emisi dan dampak kesehatan pada kejadian kabut asap, kemudian membandingkan sumber dan dampak tersebut dengan peristiwa besar serupa yang terjadi pada kondisi-kondisi meteorologi yang serupa pula di bulan September-Oktober 2006. Dengan menggunakan model perpindahan GEOS-Chem adjoint, pertama-tama kami menghitung pengaruh emisi kebakaran yang beresiko terjadi di sepanjang ranah konsentrasi asap di wilayah-wilayah penerima arah tiupan angin (downwind) –Indonesia, Malaysia, dan Singapura – selama kejadian 2006. Langkah ini memetakan sensitifitas masing-masing reseptor terhadap emisi kebakaran dalam setiap kisi sel angin yang bergerak ke atas (upwind). Kemudian kami mengkombinasikan sensitifitas-sensitifitas tersebut dengan emisi kebakaran yang diinventarisir pada 2006 dan 2015 dari Global Fire Assimilation System (GFAS) untuk memperkirakan paparan asap yang menimpa populasi yang ditimbulkan. Metode ini, yang mengasumsikan jalur pergerakan asap yang serupa pada 2006 dan 2015, memungkinkan penilaian yang hampir mendekati waktu sesungguhnya atas paparan polusi asap tersebut. Termasuk pula penilaian terhadap morbiditas dan mortalitas prematur akibat paparan kabut asap tersebut. Pendekatan kami juga memberikan penilaian cepat terhadap kontribusi relatif emisi kebakaran yang dihasilkan di sebuah provinsi tertentu terhadap dampak kesehatan yang terkait asap di wilayah-wilayah reseptor. Kami memperkirakan bahwa kabut asap pada 2015 menyebabkan 100 300 kematian di seluruh Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Korban itu lebih dari dua kali lipat dibandingkan kejadian pada 2006 dimana peningkatan terjadi karena kebakaran di Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Kerangka kerja model yang kami perkenalkan dalam kajian ini dapat mengidentifikasi dengan cepat wilayah-wilayah dimana pengelolaan pemanfaatan lahan untuk mengurangi dan/atau menghindari kebakaran akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesehatan manusia baik secara nasional maupun regional.
Asap tebal yang melingkupi wilayah sepanjang garis khatulistiwa di Asia (Equatorial Asia) selama September-Oktober 2015 mungkin merupakan episode kejadian kabut asap terburuk sejak 1997 ketika kebakaran dari pemanfaatan lahan mengakibatkan kerugian miliaran dollar dan ribuan kematian prematur (Johnston dkk. 2012, Marlier dkk. 2013). Gambut yang terdegradasi yang biasanya terbakar selama masa-masa semacam itu mengandung bahan organik yang mudah terbakar yang signifikan. Akibatnya partikel halus tertentu terlepas dalam jumlah yang luar biasa besar (PM2,5), yang menjadi penyebab mortalitas global akibat polusi (World Health Organization 2009, Lelieved dkk. 2015). Sebagaimana terjadi pada episode-episode sebelumnya, angin yang bertiup pada 2015 membawa asap ke wilayah-wilayah padat penduduk di seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaka, termasuk Singapura dan Kuala Lumpur. Dalam studi ini, kami mengidentifikasi provinsi-provinsi dimana kebijakan-kebijakan pemanfaatan lahan dan strategi pengelolaan dapat membuat mitigasi yang paling efektif terhadap paparan asap yang terbawa arah angin dan biaya yang timbul terhadap kesehatan manusia selama kejadian kabut asap. Kami juga membandingkan kejadian pada 2015 dengan kejadian asap yang besar lainnya pada 2006, sehingga dapat menentukan bagaimana pola-pola emisi kebakaran dapat berkembang akibat perubahan tutupan lahan.
Di seluruh Indonesia, api seringkali digunakan untuk membakar sisa-sisa pertanian, membuka hutan, mempersiapkan lahan untuk perkebunan atau pertanian kecil. Kebakaran juga terjadi akibat perbuatan vandalisme atau pemicuan api yang tidak terencana (Dennis dkk. 2005, Gaveau dkk. 2014a). Tingkat emisi kebakaran yang terbesar berasal dari lahan gambut yang terdegradasi, terutama dalam tahun-tahun yang kering (Marlier dkk. 2015a, 2015b). Pada 2006, pembakaran di konsesi-konsesi industri untuk membuka lahan bagi perkebunan kelapa sawit dan kayu jumlahnya sekitar ~40% dari total emisi kebakaran di Sumatera dan ~25% berada di Kalimantan (Borneo Indonesia) (Marlier dkk. 2015c). Seperti halnya di perkebunan kelapa sawit, api di perkebunan kayu digunakan untuk membersihkan vegetasi asli secara cepat dan murah agar dapat ditanami spesies bubur kayu yang komersil. Yang termasuk spesies itu adalah Acacia yang tumbuh dengan cepat, yang nilai omsetnya bisa tiga kali lipat lebih cepat dibanding kelapa sawit (~7 tahun dibandingkan dengan ~25 tahun). Jenis kayu ini beresiko menyebabkan pembakaran pasca panen lebih sering terjadi (Effendy dan Hardono 2001, Feintrenie dkk. 2010).
Seperti halnya pada 1997 dan terjadi lagi pada 2006, kabut asap parah yang terjadi pada September-Oktober 2015 dimungkinkan terjadi karena kombinasi El Niño dan kondisi Indian Ocean Dipole positif (pIOD). Kedua hal ini menyebabkan kekeringan dan makin meningkatkan aktifitas kebakaran di daerah karena bahan bakarnya lebih kering sehingga memungkinkan api meloncat dan membakar di luar kendali, atau karena para petani justru memanfaatkan musim kemarau dan melakukan pembukaan lahan lebih banyak daripada biasanya (Field dan Shen 2008, van der Werf dkk. 2008, van der Werf dkk. 2010, Reid dkk.). Sekalipun pemicu-pemicu meteorologis menunjukkan kemiripan selama kejadian kabut asap yang ekstrem seperti ini, distribusi spasial tutupan lahan dan emisi kebakaran berkembang dengan cepat terutama karena digerakkan oleh meluasnya pasar global kelapa sawit, bubur kayu dan kayu, sekaligus juga meningkatnya pertanian skala kecil (Field dkk. 2009, Miettinen dkk. 2011, Margono dkk. 2014, Gaveau dkk. 2014b, Marlier dkk. 2015a). Perbandingan antara kejadian pada 2006 dan 2015 merupakan hal penting untuk (1) melakukan kuantifikasi kontribusi lokasi-lokasi sumber api spesifik terhadap paparan asap di pusat-pusat populasi dengan angin yang bergerak ke bawah (downwind) selama terjadinya kabut asap yang ekstrim, dan (2) melakukan identifikasi tren yang mungkin terjadi dalam besaran kontribusi yang terdiferensiasi ini selama lebih dari satu dasawarsa. Kami memilih 2006 dan bukannya 1997 untuk perbandingan ini karena teknologi satelit modern (yaitu, instrumen multi-wave length dalam Terra dan Aqua yang dapat menangkap wilayah yang terbakar serta AOD) belum ada sebelum 1999 (King dkk. 2003). Diagnosa terhadap lokasi-lokasi emisi kebakaran yang menghasilkan paparan asap terbesar yang bergerak ke arah tiupan angin dapat mengarahkan pada sebuah rancangan strategi yang lebih sahih untuk mencegah atau meminimalisir kejadian kabut asap yang selalu berulang.
Dalam studi ini, kami mendemonstrasikan potensi sebuah kerangka kerja analitis yang baru untuk menilai dengan cepat yang hampir mendekati waktu sesungguhnya (real-time) atas sumber-sumber emisi dan dampak kesehatan dari episode asap yang sedang terjadi di Equatorial Asia. Kerangka kerja yang disampaikan semua di sini untuk pertama kalinya mengintegrasikan informasi mengenai (1) emisi kebakaran terkait tutupan lahan dan pemanfaatan lahan (Marlier dkk 2015a, 2015b, 2015c), (2)penggerak-penggerak meteorologis transport asap, (3) relasi sumber-reseptor baik domestik maupun lintas batas (transboundary) yang mengkuantifikasi sensitifitas konsentrasi PM2,5 di wilayah reseptor terhadap lokasi-lokasi spesifik emisi kebakaran (Kim dkk. 2015), Marlier dkk. 2015a, 2015c), dan (4) fungsi-fungsi dampak kesehatan yang terkait dengan data spesifik tingkat mortalitas, struktur usia, dan populasi secara regional. Upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya untuk mengkuantifikasi dampak kesehatan dari pembakaran biomasa di Equatorial Asia telah terbukti mahal secara komputasional (misalnya Johnson dkk. 2012, Marlier dkk. 2013). Sebaliknya, ketika relasi sumber-reseptor itu sudah dipetakan, kerangka kerja kita yang baru dapat mengkuantifikasi paparan asap dari distribusi emisi kebakaran dimanapun tanpa perlu ada tambahan simulasi-simulasi model yang mahal secara komputasional. Dengan cara ini, para pemangku kepentingan dapat melakukan identifikasi dengan cepat wilayah emisi yang menjadi kunci kontribusi paparan semacam itu dan mengestimasikan morbiditas dan mortalitas prematur yang diakibatkan pada populasi yang terkena tiupan angin, bahkan di saat kejadian kabut asap ekstrim terjadi.
Berikut ini kami mendeskripsikan estimasi emisi kebakaran serta observasi permukaan dan satelit yang digunakan dalam analisa ini. Dalam suplemen, kami mendeskripsikan GEOS-Chem adjoint yang digunakan untuk mengkalkulasi paparan asap dan perhitungan dampak kesehatan.
2.1. Emisi Kebakaran
Kami menggunakan estimasi emisi kebakaran mendekati waktu sesungguhnya (real-time) untuk kejadian kabut asap 2015 dari GFAS, sebuah produk yang tersedia untuk pemrosesan pada hari berikutnya pada saat kami melakukan analisa (GFAS, http://join.ek.fz-juelich.de/macc/; Kaiser dkk. 2012). Emisi GFAS berasal dari resolusi horizontal 0,50 x 0,50 dari observasi kekuatan radiative api (FRP) dari instrumen-instrumen Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang terpasang pada satelit-satelit Terra dan Aqua. Emisi tersebut didasarkan pada relasi yang diamati antara FRP dan bahan kering yang terbakar untuk delapan jenis tutupan lahan berdasarkan yang digunakan dalam Database Emisi Kebakaran Global (GFED; van der Werf dkk. 2010), yang dilengkapi dengan peta tanah organik dan gambut. Disini kami mendefinisikan asap sebagai jumlah karbon organik (OC) dan aerosol karbon hitam (BC), komponen-komponen utama dari PM2,5 yang terkait asap. Berdasarkan perbandingan dengan AOD satelit, Kaiser dkk. (2012) merekomendasikan pembuatan skala emisi GFAS OC dan BC dengan faktor global 3,4. Tetapi, pengukuran yang lebih rendah (underestimate) pada Kaiser dkk. (2012) dalam AOD yang dijadikan model mungkin sebagian disebabkan oleh perlakuan model aerosol karbon di atmosfer ketimbang dari emisi (Andrea dkk. 2013). Di lain pihak, kami justru menambah 50% emisi GFAS sehingga didapatkan hasil model yang lebih cocok dengan observasi permukaan selama 2015 (bagian 2.2). Peningkatan 50% juga menghasilkan total emisi PM2,5 untuk Indonesia pada 2006 yang cocok dengan apa yang dihasilkan dari inventaris emisi lainnya (Marlier dkk. 2015c). Untuk mengidentifikasi sumber-sumber emisi kebakaran, kami mengandalkan estimasi distribusi spasial lahan gambut dan konsesi industri pada 2010, sebagai satu-satunya tahun yang mempunyai data semacam itu (gambar S1). Kami melakukan tumpang-tindih (overlay) terhadap estimasi-estimasi tersebut ke dalam deteksi FRP MODIS dengan ukuran 1 x 1 km2 untuk menandai aktifitas api pada sumber-sumber tersebut (tabel S1). Informasi skala spasial yang lebih halus ini menjadi penting mengingat beragam jenis pemanfaatan lahan dan tutupan lahan yang banyak dalam setiap kisi sel GFAS yang berukuran 0,50 x 0,50 .
2.2. Observasi PM permukaan
Kami membandingkan estimasi GEOS-Chem adjoint terhadap paparan asap di Singapura selama 2015 dengan konsentrasi PM2,5 yang diamati di lima stasiun di Singapura yang dioperasikan oleh Badan Lingkungan Nasional (NEA; http://nea.gov.sg/ ). Untuk mengisolasi peningkatan PM2,5 permukan hanya karena aeorosol asap, pertama-tama kami mengkalkulasi rata-rata PM2,5 yang diamati selama Juni (13,6 µg m-3), ukuran paling awal yang ada sebelum mulai terjadinya kabut asap. Kami kemudian mengurangi rata-rata konsentrasi non-asap pada bulan Juni dari rangkaian penuh waktu (full-time series)
2.3. Pengamatan satelit
Kami juga membandingkan paparan asap adjoint dari kejadian kabut asap 2006 dan 2015 hasil dari dua satelit: indeks aerosol ultraviolet (AI) dari Instrumen Pemantau Ozon (Ozone Monitoring Instrument.OMI); Torres dkk. 2002, Torres dkk. 2007) dan kedalaman optik aerosol (AOD) pada 550 nm dari MODIS di satelit Terra (Levy dkk. 2010). Kami menggunakan produk-produk yang terjamin kualitasnya di Level 3 dari kedua instrumen, yang diproses di resolusi horizontal 10. Kedua produk itu sering digunakan untuk menentukan karakteristik aerosol asap di Asia Tenggara (Reid dkk. 2013, Chang dkk. 2015). Dengan menggunakan kedua poduk aerosol yang berbeda, kami mengatasi beberapa masalah ketidakpastian yang terkait dengan properti optik asap yang ada dalam pemulihan (Zender dkk. 2012). Kami juga memaksimalkan penggunaan jumlah data satelit yang didapatkan selama kurun waktu pengamatan tertentu pada kondisi lingkungan yang menantang untuk diobservasi dari angkasa karena awan yang sering muncul, garis pantai yang panjang, dan medan yang bergunung-gunung (Reid dkk. 2013).
3.1. Emisi dari api
Gambar 1 menunjukkan rentetan tahun 1995-2015 dari indeks NINO3.4 dan Dipole Mode Index (DMI), indeks-indeks standar yang digunakan untuk mewakili fase-fase El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD; www.stateoftheocean.osmc.noaa.gov ). El Niño dan fase-fase positif IOD menghasilkan konveksi yang tertekan di seluruh Indonesia, sehingga menyebabkan kekeringan dan peningkatan kegiatan api. September 2015 merupakan El Niño yang paling kuat yang terekam sejak 1997 dan bahkan jauh lebih kuat daripada El Niño pada September 2006. Tetapi, September 2006 mempunyai IOD positif yang sedikit agak lebih kuat. Selama tercatat lebih dari 20 tahun, hanya ada tiga contoh ketika NINO3.4 dan indeks-indeks DMI secara simultan melampaui nilai dari +1:1997, 2006, dan 2015. Sebelum 2015, kejadian kabut asap regional pada 1997 merupakan peristiwa yang paling hebat yang pernah tercatat. Tetapi, karena ketiadaan data satelit selama 1997, fokus kami hanya pada perbandingan pada 2006 sebagai kejadian kabut asap yang paling ekstrim sebelum 2015.
Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah terbakar hebat pada peristiwa di tahun 2006 sehingga menyumbangkan 30% dan 31% dari total emisi OC + BC yang terlepas (gambar 2 dan 3). Emisi kebakaran di Indonesia selama Juli-Oktober 2015 adalah 2,1 Tg lebih tinggi jika dibandingkan dengan emisi 2006 pada bulan yang sama, atau meningkat 110% (gambar 3). Sumatera Selatan menyumbang 62% (1,3 Tg) perbedaan emisi antara 2015 dan 2006. Sementara Kalimantan Tengah hanya 18% (0,4 Tg) . Provinsi Jambi, yang bertanggung jawab terhadap kurang dari 5% asap selama 2006, menyumbang emisi tertinggi ketiga dari provinsi manapun pada 2015 dan 12% terhadap perbedaan emisi antara 2015 dan 2006. Kontribusi asap Kalimantan Barat menurun dari 16% pada 2006 menjadi 6% pada 2015.
3.2. Paparan asap selama peristiwa kabut asap
Untuk memperkirakan paparan asap pada tiap wilayah reseptor selama dua peristiwa kabut asap, kami mengalikan emisi GFAS selama Juli-Oktober 2006 dan Juli-Oktober 2015 dengan sensitifitas adjoint yang disimulasikan selama Juli-Oktober 2006 (gambar S3). Meskipun asap yang paling pekat terjadi selama September-Oktober di kedua tahun tersebut (65% dari total emisi kebakaran tahunan pada 2006, 80% pada 2015), kami memperluas horizon waktu untuk memasukkan seluruh musim kebakaran dari Juli-Oktober (83% dari total emisi kebakaran tahunan pada 2006, 93% pada 2015). Seperti telah dijelaskan di atas, kami berasumsi bahwa pola perambatan asap pada 2006 mirip dengan pola pada 2015. Asap yang menuju ke ketiga reseptor menunjukkan sebuah sensitifitas yang tinggi terhadap angin tenggara yang bertiup yang diatur oleh lokasi Intertropical Convergence Zone (ITCZ) selama September-Oktober (Chank dkk. 2005). Untuk menguji hasil kami dengan menggunakan meteorologi dari tahun-tahun lainnya kami juga menghitung paparan asap di Singapura karena emisi kebakaran 2015 dengan sensitifitas adjoint selama 2005 dan 2007-2009 (gambar S4). Paparan rata-rata musiman mirip dengan sensitifitas pada 2005-2008, sedangkan pada 2009 ~25% lebih besar daripada rata-rata pada 2006.
Gambar 4 menunjukkan sebuah kombinasi rangkaian waktu konsentrasi NEA PM2,5 harian di Singapura selama 1 Juli sampai 31 Oktober 2015. Konsentrasi asap kembali ke level normal pada akhir Oktober dengan mulainya hujan muson (Cochrane 2015). Data NEA mengungkap rata-rata paparan asap yang diamati pada 30 µg m-3 di Singapura selama Juli-Oktober 2015. Pendekatan kami menghaslikan sebuah rata-rata paparan asap Juli-Oktober 2015 di Singapura sebesar 27 µg m-3, yang konsisten dengan observasi permukaan NEA. Paparan asap terhadap populasi di Indonesia dan Malaysia selama 2015 diperkirakan sebesar 19 µg m-3 dan 14 µg m-3. Rata-rata konsentrasi PM2,5 non-asap pada Juli-Oktober di wilayah-wilayah tersebut adalah ~10-15 µg m-3 (bagian 2.2; simulasi model yang akan datang GEOS-Chem, tidak diperlihatkan), yang menghasilkan rata-rata paparan PM2,5 tahunan di bawah 50 µg m-3 dan masih dalam jarak linearitas (bagian suplemen 2).
Selama 2006, kami menemukan bahwa paparan pada Juli-Oktober lebih rendah daripada setidaknya hingga faktor 2 pada semua tiga reseptor jika dibandingkan pada 2015, dengan nilai 10 µg m-3 di Singapura, 8 µg m-3 di Indonesia, dan 6 µg m-3 di Malaysia. Gambar 5 membandingkan OMI AI dan MODIS AOD selama September-Oktober 2006 untuk kuantitas-kuantitas tersebut selama September-Oktober 2015. Selama 2015 juga ditunjukkan sebuah perbandingan ukuran antara MODIS AOD dengan AOD pada beberapa tempat dalam Aerosol Robotic Network (AERONET; Holben dkk. 1998); tidak tersedia data pada tempat-tempat ini selama September-Oktober 2006. Kedua instrumen satelit menunjukkan sebuah perkiraan level aerosol dua kali lipat pada 2015 yang dibandingkan dengan 2006 untuk seluruh ranah sehingga ini konsisten dengan hasil paparan adjoint dan mengkonfirmasikan kegunaan pendekatan kami.
3.3. Sumber-sumber emisi
Selama 2006, kontribusi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah secara kasar sama dengan emisi-emisi regional (30%-31%), tetapi di seluruh tiga wilayah reseptor, Sumatera Selatan menunjukkan lebih dari tiga kali lipat lebih banyak daripada paparan asap dari Kalimantan Tengah (gambar 3). Kalimantan Barat pada 2006 juga hanya memberi kontribusi sebesar 16% terhadap emisi regional, tetapi bertanggung jawab atas tingkat paparan asap tertinggi kedua setelah Sumatera Selatan di Malaysia. Pada 2015, persentase kontribusi terhadap paparan asap dari Sumatera Selatan meningkat 10%-15% secara absolut di ketiga wilayah reseptor jika dibandingkan dengan kontribusi paparan asap dari Sumatera Selatan pada wilayah-wilayah yang sama pada 2006. Kontribusi paparan dari Jambi dua kali lipat pada 2015 jika dibanding 2006. Sementara itu, kontribusi dari wilayah-wilayah lain menurun. Tren paparan asap dari Sumatera Selatan dan Jambi pada 2015 memberikan perubahan signifikan dalam pemanfaatan lahan yang terjadi di wilayah-wilayah itu selama tahun-tahun seperti yang akan dibahas berikut.
Wilayah-wilayah sumber emisi selama kejadian kabut asap pada 2006 dan 2015 berbeda dengan wilayah yang berkontribusi terhadap kejadian kabut asap yang parah pada Juni 2013 yang berdampak parah di Singapura dan Semenanjung Malaka (Gaveau dkk. 201a). Asap pada 2013 telah ditelusuri ke pembakaran lahan pertanian di Riau, sebuah provinsi di sebelah utara Sumatera yang sebagian besar tertutup gambut dan konsesi kelapa sawit (gambar 1; Gaveau dkk. 2014a). Sebaliknya, kami menemukan bahwa Riau tidak memberikan kontribusi yang signifikan tehadap paparan asap terhadap reseptor manapun selama kejadian kabut asap pada 2006 atau 2015. Perbedaan ini sebagian disebabkan oleh musim kebakaran yang lebih lama di Riau daripada di daerah selatan Indonesia yang meningkat kebakarannya pada awal tahun (Reid dkk. 2013). Angin dominan di Riau juga berubah dari arah barat pada Juni ke arah tenggara selama September-Oktober ketika ITCZ bergerak ke arah selatan di sepanjang Equatorial Asia, yang membawa asap dari sana yang pada musim berikutnya lebih mengarah ke barat laut daripada ke Semenanjung Malaka yang penuh populasi.
Untuk memperkirakan kontribusi jenis-jenis pemanfaatan lahan dan tutupan lahan yang berbeda terhadap aktifitas api, kami menggunakan observasi FRP satelit dengan resolusi tinggi (1 km x 1 km) selama Juli-Oktober 2006 dan 2015 (tabel S1). Sementara total FRP tidak langung dapat diperbandingkan dengan emisi, mereka tersedia hampir pada waktu yang sesungguhnya dan dapat mengungkap distribusi spasial aktifitas api dan jenis pemanfaatan lahan yang terpengaruh oleh kebakaran seperti yang ditunjukkan oleh Marlier dkk. (2015c). Misalnya, meskipun konsesi kelapa sawit berdampak sebagai penyebab utama kebakaran lahan gambut di Indonesia (Koh dkk. 2011), kami mendapati bahwa pembakaran di konsesi-konsesi kelapa sawit pada 2006 hanya sekitar 11% dari total FRP di Sumatera dan 32% di Kalimantan. Pada 2015, kontribusi-kontribusi tersebut turun 5% dan 20%. Di Sumatera, FRP di konsesi-konsesi kayu meningkat dari 27% pada 2006 menjadi 55% pada 2015. Sementara itu, di Kalimantan kontribusi konsesi kayu <10% pada 2006 dan 2015. Sebaliknya, persentasi total FRP yang terjadi di lahan gambut meningkat di Sumatera (44%-72%) dan Kalimantan (32%-43%) dari 2006 ke 2015. Alasan kenaikan aktifitas api di lahan gambut belum dapat dipastikan. Pengeringan lahan gambut untuk mempersiapkan pemanfaatan lahan pertanian dalam tahun-tahun tersebut boleh jadi telah membuat lahan gambut lebih rentan terhadap kebakaran (Carlson dkk. 2012, Turetsky dkk. 2015). Analisa lebih lanjut pada kejadian 2015 disertai peta pemanfaatan lahan yang terkini diperlukan untuk sepenuhnya memahami pola-pola tersebut pada skala spasial yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan.
Gambar 2. Emisi asap selama September Oktober
Emisi keseluruhan karbon hitam dan organik (OC+BC) pada September-Oktober) dari GFAS selama 2006 dan 2015. Panel atas menunjukkan 2006, panel tengah menunjukkan 2015, dan panel bawah untuk perbedaan (2015-2006). Batas-batas provinsi ditunjukkan pada panel bagian bawah dengan garis-garis berwarna, yakni Jambi pada warna koral, Sumatera Selatan dan Bangka-Belitung dengan warna hijau, Kalimantan Barat biru, dan Kalimantan Tengah ungu.
3.4. Prakiraan dampak kesehatan
Standar utama Badan Perlindungan Lingkungan AS terhadap tingkat PM2,5 rata-rata tahunan yang tidak sehat adalah 12 µg m-3 . Menurut Bank Dunia, kebanyakan Equatorial Asia dekat dengan standar ini pada tahun-tahun yang tidak berasap –nilai tengah tahunan yang dilaporkan pada 2011 adalah 13-14 µg m-3 untuk Indonesia, Malaysia, dan Singapura (http://data.worldbank.org/indicator/EN.ATM.PM25.MC.M3 ). Berdasarkan paparan asap pada 2006 (bagian 3.2), kami memperkirakan ekses kematian berikutnya pada tahun tersebut dengan 95% interval derajat kepercayaan yang dihitung pada Driscol dkk. (2015):34 600 (9000-60 100) di Indonesia, 2300 (600-4000) di Malaysia, dan 700 (200-1200) di Singapura. Pada 2015, kami memperkirakan ekses kematian tersebut menjadi 91 600(24 000-159 200) di Indonesia, 6500 (1700-11 300) di Malaysia, dan 2200 (600-3800) di Singapura. (Lihat bagian suplemen 2 untuk penjelasan kalkulasi dampak kesehatan dan perbandingan terhadap estimasi sebelumnya pada kejadian di 1997). Hasil kami memperlihatkan bahwa mortalitas akibat asap regional adalah 2,7 kali lebih tinggi pada 2015 daripada 2006. Sebab-sebab peningkatannya kami rangkum dalam diskusi dan kesimpulan.
Gambar 3. Paparan Asap berdasarkan Provinsi Penyumbang
Paparan yang diderita penduduk (µg m-3 )
Kontribusi berdasarkan provinsi terhadap rata-rata paparan asap yang diderita penduduk secara regional (kiri) dan total emisi kebakaran di Indonesia dari OC+BC (kanan) selama Juli-Oktober 2006 dan 2015. Kepulauan Bangka-Belitung termasuk dengan Sumatera Selatan. Batas-batas provinsi ditunjukkan pada gambar 2 dan gambar suplemen S2.
Gambar 4. Asap PM2,5 di Singapura selama 2015
Rangkaian waktu konsentrasi PM2,5 asap yang diamati setiap hari di Singapura dari Badan Lingkungan Nasional (NEA; www.nea.org ) selama 1 Juli-31 Oktober 2015. Titik abu-abu mewakili nilai tengah (mean) konsentrasi 24 h yang dirata-rata di seluruh lima stasiun: Singapura Pusat, Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Lingkaran hitam yang tidak terisi pada pertengahan bulan mewakili rata-rata asap PM2,5 yang diamati setiap bulan dari NEA yang dirata-rata di seluruh lima stasiun. PM2,5 nonasap telah dihilangkan dari rangkaian waktu dengan mengurangi rata-rata konsentrasi PM2,5 yang diamati selama Juni, sebelum terjadinya kabut asap. Segitiga menunjukkan paparan asap rata-rata tiap bulan di Singapura yang diperkirakan oleh studi ini selama Juli-Oktober 2015 dengan menggunakan emisi GFAS yang tidak terskala (biru), emisi GFAS yang diskala oleh faktor 3,4 yang direkomendasikan (merah) dan emisi GFAS yang diskala 50% (hijau).
Kombinasi kondisi El Niño dan pIOD pada Juli-Oktober 2015 menyebabkan kondisi kering yang memperparah kebakaran pembukaan lahan dan peladangan di bagian selatan Sumatera dan Kalimantan. Asap tebal yang dihasilkan selalu berada di sepanjang Equatorial Asia selama berminggu-minggu, yang menimbulkan dampak kesehatan masyarakat yang merugikan bagi populasi di Indonesia, Singapura, dan Malasyia. Dengan menggunakan adjoint model kimia global GEOS-Chem bersama dengan fungsi-fungsi tanggap kesehatan (health response functions), kami memperkirakan ~60 µg m-3 dari paparan PM2,5 asap yang menimpa penduduk dan 100 300 kematian prematur di seluruh Indonesia, Malysia, dan Singapura disebabkan oleh kabut asap ekstrim pada 2015. Nilai-nilai tersebut lebih dari dua kali lipat dari 25 µg m-3 dari PM2,5 asap dan 37 600 kematian prematur yang kami perkirakan selama kejadian kabut asap serupa di wilayah itu pada 2006. Prakiraan dua kali lipat paparan asap regional pada 2015 dibandingkan dengan 2006 ini konsisten dengan pengamatan asap dari OMI AI dan MODIS AOD selama dua kejadian tersebut.
Paparan asap di pusat-pusat populasi sesuai arah tiupan angin pada 2006 dan 2015 berkurang terutama karena pembakaran di Sumatera Selatan sebagai sebuah daerah yang memberikan kontribusi lebih dari 30% emisi regional dan lebih dari 50% paparan asap regional selama dua kejadian tersebut. Kami juga menemukan bahwa Provinsi Jambi, yang belum terbakar secara signifikan pada 2006, memberikan kontribusi sekitar ~20% dari paparan asap yang meningkat antara 2006 dan 2015. Data FRP resolusi tinggi menyatakan bahwa aktifitas api di Sumatera pada 2015 didominasi oleh pembakaran di konsesi-konsesi kayu (55%) dan lahan gambut (72%). Analisa terkini dari sektor-sektor dan jenis-jenis lahan yang berkontribusi terhadap paparan asap akan mengembangkan temuan Marlier dkk. (2015c) dan menguji hipotesa kami.
Gambar 5. Rata-rata pengamatan aerosol satelit selama September-Oktober pada kejadian asap di 2006 dan 2015. Observasi selama kejadian di 2006 ditunjukkan pada dua panel di bagian atas; kejadian di 2015 ditunjukkan di panel bagian tengah. Nilai Indeks Aerosol (AI) dari Ozone Monitoring Instrument (OMI) ditunjukkan di sebelah kiri; kedalaman optik aerosol (AOD) pada 550 nm dari Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Terra berada di sebelah kanan. Piksel abu-abu mengindikasikan data yang hilang. Lingkaran-lingkaran berwarna pada panel MODIS AOD 2015 mengindikasikan rata-rata observasi AERONET pada September-Oktober. Data-data tersebut adalah level 1,5, yang termasuk filter awan tetapi bukan kalibrasi final dari produk tingkat 2,0 yang terjamin kualitasnya. Agar sejalan dengan waktu lintas pagi Terra MODIS, data AERONET telah dirata-rata selama pukul 9 am- 12 pm waktu setempat. Panel bagian bawah membandingkan nilai-nilai 2015 dengan nilai pada 2006 untuk produk-produk kedua satelit, yang dikalkulasikan sebagai rasio 205/2006. Agar jelas, rasio pada kisi kotak-kotak tersebut dengan kandungan aerosol rendah di kedua produk (AOD < 0,5 dan AI < 1,0) tidak ditampilkann.
Ada beberapa keterbatasan pada kerangka kerja model yang kami sampaikan. Pertama, emisi lahan gambut sulit untuk dikuantifikasi sehingga membawa pada estimasi emisi yang melebar di seluruh inventaris api. Kebakaran gambut terjadi di permukaan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah api menyala, yang seringkali temperaturnya terlalu rendah untuk dapat dideteksi dari angkasa (Tansey dkk. 2008). Kontribusi pembakaran di temperatur rendah terhadap emisi asap di lahan gambut tidak dapat dipastikan. Jumlah bahan bakar gambut yang dihabiskan selama terjadi kebakaran juga tidak pasti dan baru-baru ini tidak dihadirkan dalam inventaris emisi secara ekplisit (Konecny dkk.). Keterbatasan kedua, peta konsesi yang kami gunakan dalam atribusi lebih terkait dengan 2010 daripada 2015, dan pembagian konsesi yang tercatat pada 2010 bisa jadi telah dikonversi menjadi jenis pemanfaatan lahan yang lain dari sebelum 2015. Selain itu, sejak analisa kami diadakan pada kisi/grid 0,50 x 0,670, ada beberapa ketidakpastian dari atribusi kami mengenai kontribusi emisi dan paparan terhadap provinsi-provinsi spesifik. Ketiga, metode kami menghasilkan paparan asap rata-rata yang diderita populasi, yang mengabaikan variabilitas spasial dalam paparan di wilayah reseptor. Populasi yang tinggal dekat dengan kebakaran bisa mengalami paparan PM2,5 rata-rata per tahun di atas 50 µg m-3 ambang linearitas dalam fungsi respon konsentrasi yang kami gunakan. Fokus kami juga dibatasi pada mortalitas dewasa karena kurangnya pengetahuan mengenai efek polusi udara terhadap mortalitas anak, sekalipun dampak pada anak-anak mungkin sangat signifikan. Disamping itu, fungsi respon konsentrasi yang digunakan di sini didasarkan pada kajian-kajian yang dilakukan di negara-negara yang berpendapatan tinggi dengan karakteristik kesehatan baseline yang berbeda dan sumber-sumber polusi udara. Sampai sekarang, hanya ada sedikit bukti yang mengkuantifikasi hubungan antara komposisi PM2,5 dan toksisitas, sehingga kami tidak mempertimbangkan faktor ini (Levi dkk. 2012). Pendekatan kami juga tidak mengeliminasi pengaruh potensial secara eksplisit dari efek kesehatan pembaur dari kondisi-kondisi yang terkait dengan meteorologi El Niño-pIOD yang indepenen dari polusi api, seperti misalnya gelombang panas atau ekses debu dari udara karena kondisi-kondisi yang lebih kering. Idealnya kami ingin melakukan validasi hasil-hasil kami dengan studi epidemologi selama bertahun-tahun, tetapi evaluasi semacam itu diluar lingkup analisa kami. Akhirnya, pendekatan kami mengandalkan pada asumsi bahwa pola pergerakan yang kuat antara 2015 dan 2016 mirip sekali karena kondisi meteorologis di belakangnya (bagian 3.1-3.2). Alat-alat pemrediksi pada waktu sesungguhnya (real-time) untuk meramalkan asap di Asia Tenggara sudah ada dan telah dikembangkan baru-baru ini (Hertwig dkk. 2015), tetapi metode-metode tersebut memerlukan investasi komputasional yang substantif dan tidak serta merta menyediakan informasi atribusi sumber geografis yang melekat dengan pendekatan adjoint kami.
Keterbatasan-keterbatasan di dalam pendekatan kami tersebut sangat diimbangi dengan manfaat-manfaat dari (1) pengidentifikasian lokasi-lokasi api utama yang mendekati waktu sesungguhnya (real-time) yang memberikan kontribusi signifikan terhadap paparan asap yang mengikuti arah tiupan angin selama kejadian kabut asap di Equatorial Asia, dan (2) estimasi yang cepat dihasilkan dari dampak kesehatan terkait ketika para pengambil kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat sipil sedang mencari jalan efektif untuk membahas pembakaran musiman di Equatorial Asia. Secara khusus, pendekatan kami memberikan diagnosa respon awal dari provinsi-provinsi dimana pengelolaan pemanfaatan lahan dan kebakaran yang efektif akan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesehatan manusia, meskipun saat kejadian asap masih terjadi. (Lihat bagian suplemen 6 untuk pembahasan tantangan yang dalam strategi-strategi pengelolaan kebakaran yang ada di Indonesia). Penerapan kerangka kerja yang ditampilkan dalam kajian ini hanya memerlukan estimasi eksplisit emisi aerosol karbon dari kebakaran secara spasial, sensitifitas adjoint GEOS-Chem yang sudah diarsipkan (tersedia jika diminta), dan model dampak kesehatan. Kalkulasi paparan merupakan multiplikasi satu tahap yang efektif dengan menggabungkan sensitifitas dengan emisi kebakaran, yang hanya perlu beberapa detik untuk bekerja dan memerlukan sumber daya komputasi yang minimal. Segera setelah kejadian kabut asap yang besar, ketika insentif untuk pengambilan keputusan yang konstruktif diantara para pemangku kepentingan menjadi hal yang paling utama, kerangka kerja kami memberikan informasi terinci mengenai konsekuensi kualitas udara yang diakibatkan oleh kebakaran pertanian, praktik pemanfaatan lahan yang umum di Equatorial Asia.
Pendekatan model kami mengkuantifikasi dampak kesehatan masyarakat akibat polusi asap, termasuk asap yang melintas perbatasan internasional. Kapasitas kerangka kerja kami untuk melakukan identifikasi secara cepat di provinsi-provinsi dimana emisi kebakaran terjadi sangat mempengaruhi populasi yang searah dengan tiupan angin dan untuk mengkuantifikasi hasil PM2,5 terkait dengan dampak kesehatan, dapat membantu lembaga-lembaga pemerintah untuk memprioritaskan wilayah-wilayah berhutan dan bergambut yang harus dilindungi dan direstorasi. Lebih lanjut, pendekatan model kami yang terintegrasi dapat membantu para pembuat kebijakan mengurangi dampak kesehatan dari asap dan memperkuat upaya-upaya jangka panjang seperti Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sehingga memaksimalkan manfaat iklim yang mencegah pelepasan karbon dari pohon, gambut, dan tanah lainnya. Akhirnya, kemampuan kerangka kerja untuk menghubungkan secara kausalitas antara kejadian kebakaran spesifik dengan dampak kesehatan masyarakat di lokasi domestik maupun lintas batas (transboundary) dapat mendukung implementasi perundang-undangan yang akan menghukum individu-individu dan entitas-entitas yang terlibat dalam pembakaran lahan dan hutan secara ilegal di wilayah ini.
Pernyataan Apresiasi
Kode dan bahan pendukung untuk model GEOS-Chem tersedia di www.geos-chem.org. Analisa data satelit MODIS dan OMI yang digunakan dalam makalah ini diproses dengan sistem data dari Giovanni , yang dikembangkan dan dipelihara oleh NASA GES DISC. Pekerjaan ini didanai oleh Rockfeller Foundation dan Gordon and Betty Moore Foundation melalui program Kesehatan dan Lingkungan: Analisa Keterkaitan (HEAL). Miriam Marlier didanai melalui Winslow Foundation. Para pengarang berterima kasih kepada Han Shen Quek dan para kolaborator di Badan Lingkungan Nasional Singapura yang telah menyediakan pengukuran PM. Kami juga berterima kasih kepada Santo V Salinas Cortijo, Susana Dorado, Brent Holben, Soo-Chin Liew, Mastura Mahmud, Maznorizan Mohamad, Lim Hwee San, dan tim AERONET atas upaya-upaya mereka dalam membangun dan menjaga lokasi-lokasi di Singapura, Kuching, Pontianak, Palangkaraya, ND Marbel University, dan USM Penang. Kami juga berterima kasih kepada Guido van der Werf atas komentarnya yang sangat membantu dalam hal inventaris emisi kebakaran. Akhirnya, kami berterima kasih kepada proyek monitoring iklim dan komposisi atmosfer (MACC-II) karena telah memproses, menjaga, dan mendistribusikan data GFAS. Data GFAS diambil dari sebuah situs online yang dikelola oleh ECMWF. Komisi Eropa dan ECMWF tidak bertanggung jawab atau menanggung segala akibat dari penggunaan dari data ini.
Referensi
Andela N, Kaiser JW, Heil A, van Leeuwen T T, van der Werf G R, Wooster M J, Remy S and Schultz M G 2013 Assessment of the Q4 Global Fire Assimilation System (GFASv1) (Monitoring Atmospheric Composition and Climate-II)
Carlson K M, Curran LM, Ratnasari D, Pittman AM, Soares-Filho B S, AsnerGP, Trigg SN, GaveauDA, Lawrence D and Rodrigues H O 2012 Committed carbon emissions, deforestation, and community land conversion from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia Proc. Natl Acad. Sci. USA 109 7559–64
Chang C H, Hsiao Y L and Hwang C 2015 Evaluating spatial and temporal variations of aerosol optical depth and biomass burning over southeast asia based on satellite data products Aerosol Air Qual. Res. 15 2625–40
Chang C-P, Wang Z, McBride J and Liu C H 2005 Annual cycle of Southeast Asia—Maritime continent rainfall and the asymmetric monsoon transition J. Clim. 18 287–301
Cochrane J 2015 Rain in Indonesia Dampens Forest Fires That Spread Toxic Haze www.nytimes.com Online: http://nytimes.com/2015/10/29/world/asia/indonesia-forestfire-toxic-haze.html?_r=0
Dennis RA et al 2005 Fire, people and pixels: linking social science and remote sensing to understand underlying causes and impacts of fires in Indonesia Hum. Ecol. 33 465–504
Driscoll C T, Buonocore J J, Levy J I, Lambert K F, Burtraw D, Reid S B, Fakhraei Hand Schwartz J 2015 US power plant Q5 carbon standards and clean air and health co-benefitsNat. Clim. Change 0–5
Effendy A and Hardono D S 2001 The large scale private investment of timber plantation development in Indonesia Proc. Int. Conf. on Timber Plantation De Online: http://fao.org/docrep/005/ac781e/AC781E08a.htm
Feintrenie L, Chong W Kand Levang P 2010 Why do farmers prefer oil palm? Lessons learnt from Bungo district, Indonesia Small-Scale Forestry 9 379–96
Field R D and Shen S S P 2008 Predictability of carbon emissions from biomass burning in Indonesia from 1997 to 2006 J. Geophys. Res.: Biogeosci. 113
Field R D, van der Werf G R and Shen S S P 2009 Human amplification of drought-induced biomass burning in Indonesia since 1960 Nat. Geosci. 2 185–8
Gaveau D L A et al 2014a Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires Sci. Rep. 4
Gaveau D L A et al 2014b Four decades of forest persistence, clearance and logging on Borneo PLoS One 9 e101654
Hertwig D, Burgin L, Gan C, Hort M, Jones A, Shaw F, Witham C and Zhang K 2015 Development and demonstration of a Lagrangian dispersion modeling system for real time prediction of smoke haze pollution from biomass burning in Southeast Asia J. Geophys. Res.: Atmos. 120 12605–30
Holben B N et al 1998 AERONET—a federated instrument network and data archive for aerosol characterization Remote Sens.Environ. 66 1–16
Johnston F H, Henderson S B, Chen Y, Randerson J T, Marlier M, DeFries R S, Kinney P, Bowman D M J S and Brauer M 2012 Estimated global mortality attributable to smoke from landscape fires Environ. Health Perspect. 120
Kaiser J W et al 2012 Biomass burning emissions estimated with a global fire assimilation system based on observed fire radiative power Biogeosciences 9 527–54
Kim P S, Jacob D J, Mickley L J, Koplitz S N, Marlier M E, DeFries R S, Myers S S, Chew B N and Mao Y H 2015 Sensitivity of population smoke exposure to fire locations in Equatorial Asia Atmos. Environ. 102 11–7
King M D, Menzel W P, Kaufman Y J, Tanré D, Gao B C, Platnick S, Ackerman SA, Remer L A, Pincus P and Hubanks P A 2003 Cloud and aerosol properties, precipitable water, and profiles of temperature and water vapor from MODIS IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. 41 442–58
Koh L P, Miettinen J and Liew S C 2011 Remotely sensed evidence of tropical peatland conversion to oil palm Proc. Natl Acad. Sci. 108 5127–32
Konecny K, Ballhorn U, Navratil P, Jubanski J, Page S E, Tansey K, Hooijer A, Vernimmen R and Siegert F 2015 Variable carbon losses fromrecurrent fires in drained tropical peatlandsGlob. Q6 Change Biol. (doi:10.1111/gcb.13186)
Lelieveld J, Evans J S, Fnais M, Giannadaki Dand Pozzer A 2015 The contribution of outdoor air pollution sources to premature mortality on a global scale Nature 525 367–71
Levy J I, Diez D, Dou Y, Barr C D and Dominici F 2012 A meta-analysis and multisite time series analysis of the differential toxicity of major fine particulate matter constituents Am. J. Epidemiol. 175 1091–9
Levy R C, Remer L Aand Kleidman RG2010 Global evaluation of the collection 5 MODIS dark-target aerosol products over land Atmos. Chem. Phys. 10 10399–420
Margono B A, Potapov P V, Turubanova S, Stolle F and Hansen M C 2014 Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012 Nat. Clim. Change 4 730–5
Marlier M E, DeFries R, Pennington D, Nelson E, Ordway E M, Lewis J, Koplitz SNand Mickley L J 2015b Future fire emissions associated with projected land use change in Sumatra Glob. Change Biol. 21 345–62
Marlier M E, DeFries R S, Kim P S, Gaveau D L A, Koplitz SN, JacobDJ, Mickley L J, Margono B A and Myers S S 2015a Regional air quality impacts of future fire emissions in Sumatra and Kalimantan Environ. Res. Lett. 10 054010
Marlier M E, DeFries R S, Kim P S, Koplitz SN, Jacob D J, Mickley L J and Myers S S 2015c Fire emissions and regional air quality impacts from fires in oil palm, timber, and logging concessions in Indonesia Environ. Res. Lett. 10 085005
Marlier M E, DeFries R S, Voulgarakis A, Kinney P L, Randerson J T, Shindell D T, Chen Y and Faluvegi G 2013 El Niño and health risks from landscape fire emissions in Southeast Asia Nat. Clim. Change 3 131–6
Miettinen J, Shi C and Liew S C2011 Deforestation rates in insular Southeast Asia between 2000 and 2010 Glob. Change Biol. 17 2261–70
Reid J S et al 2013 Observing and understanding the Southeast Asian aerosol system by remote sensing: an initial review and analysis for the seven Southeast Asian studies (7SEAS) program Atmos. Res. 122 403–68
Reid J S, Xian P, Hyer E J, Flatau M K, Ramirez E M, Turk F J, Sampson C R, Zhang C, Fukada E Mand Maloney E D 2012 Multi-scale meteorological conceptual analysis of observed active fire hotspot activity and smoke optical depth in the maritime continent Atmos. Chem. Phys. 12 2117–47
Tansey K, Beston J, Hoscilo A, Page S E and Paredes Hernández C U 2008 Relationship between MODIS fire hot spot count and burned area in a degraded tropical peat swamp forest in Central Kalimantan, Indonesia J. Geophys. Res.: Atmos. 113
Torres O, Decae R, Veefkind P and de Leeuw G 2002 OMI aerosol retrieval algorithm OMI Algorithm Theoretical Basis Q7 Document vol 3, pp 47–71
Torres O, Tanskanen A, Veihelmann B, Ahn C, Braak R, Bhartia P K, Veefkind Pand Levelt P 2007Aerosols and surface U V products from ozone monitoring instrument observations: an overview J. Geophys. Res.:Atmos. (1984–2012) 112
Turetsky M R, Benscoter B, Page S and Rein G 2015 Global vulnerability of peatlands to fire and carbon lossNat. Geosci. 8 11–4
van der Werf G R et al 2008 Climate regulation of fire emissions and deforestation in equatorial Asia Proc.Natl Acad. Sci. 105 20350–5
van der WerfGR, Randerson J T and Giglio L 2010 Global fire emissions and the contribution of deforestation, savanna, forest, agricultural, and peat fires (1997–2009) Atmos. Chem. Phys. 10 11707–35
World Health Organization 2009 Global Health Risks: Mortality and Burden of Disease Attributable to Select Major Risks World Health Organization
Zender C S, Krolewski A G, Tosca M G and Randerson J T 2012 Tropical biomass burning smoke plume size, shape, reflectance, and age based on 2001–2009 MISR imagery of Borneo Atmos. Chem. Phys. 12 3437–54
FORMULIR PERTANYAAN
JOURNAL: Makalah Riset Lingkungan
PENGARANG: S N Koplitz dkk.
JUDUL: Dampak kesehatan masyarakat atas kabut asap yang terjadi di Equatorial Asia pada September-Oktober 2015: pendemonstrasian sebuah kerangka kerja baru untuk memberikan informasi pada strategi-strategi pengelolaan kebakaran untuk mengurangi paparan asap yang terbawa arah angin.
ARTIKEL ID: erlaa36d5
Tata letak artikel ini belum difinalisasikan. Karena itu pengecekan masih memuat kolom yang tidak seimbang/tidak pas atau teks yang bertumpang tindih dengan persamaan di dalamnya; masalah-masalah tersebut akan diselesaikan ketika koreksi final sudah diselesaikan.
Kami telah diberi informasi pendanaan untuk artikel ini seperti berikut. Silakan melakukan konfirmasi apakah informasi ini sudah benar. Winslow Foundation; Gordon and Betty Moore Foundation; Rockfeller Foundation.
Halaman 11
Q1
Silakan berikan bahan pelengkap dalam format pdf
Halaman 1
Q2
Silakan berikan alamat e-mail bagi para pengarang
Halaman 9
Q3
Silakan cek rincian referensi jurnal yang tidak punya tautan karena rincian itu bisa saja memuat beberapa informasi yang kurang tepat
Halaman 9
Q4
Referensi laporan [Andela dkk. 2013, World Health Organization 2009] harus memuat nama pengarang, tahun, judul laporan, nomer laporan dan lembaga. Silakan lengkapi informasi yang belum ada.
Halaman 9
Q5
Silakan berikan jarak halaman atau nomer artikel dalam referensi [Driscoll dkk. 2015, Field and Shen 2008, Gaveau dkk. 2014a, Johnston dkk. 2012, Konecny dkk. 2015, Tanse dkk. 2008, Torres dkk. 2007]
Halaman 9
Q6
Silakan berikan volume dan nomer halaman atau nomer artikel dalam referensi [Konecny dkk. 2015].
Halaman 9
Q7
Lokasi dan nama penerbit diperlukan untuk referensi buku [Torres dkk. 2002]. Silakan lengkapi informasi yang belum ada.
Featured photo © Ardiles Rante / Greenpeace