Penolakan Tak Terlihat Terhadap Bendungan 1.6 Milyar USD yang Mengancam Kelangsungan Spesies Orangutan BaruWarga lokal yang menentang pengembangan bendungan senilai 1.6 milyar USD dan proyek pembangkit listrik tenaga air di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, semakin berkembang menurut laporan dari sebuah misi pencarian fakta. Laporan itu mengatakan bahwa ada kekhawatiran yang berkembang tentang proyek di antara penduduk setempat, banyak dari mereka yang bergabung dengan penentang lama dari kelompok lingkungan lokal dan internasional dalam menyerukan agar proyek yang didanai oleh China tersebut dihentikan. Sementara itu, pengembang proyek North Sumatera Hydro Energy (NHSE) masih tetap berniat untuk menyelesaikan proyek pada tahun 2022 seperti yang direncanakan, meskipun ada pembangkit panas bumi terdekat yang dapat menyediakan lebih banyak listrik tanpa kerusakan lingkungan daripada bendungan yang telah di rencanakan.
Sejak pertama kali diumumkan pada tahun 2012, proyek ini telah menjadi sasaran kritik, terutama karena ancaman yang ditimbulkan oleh bendungan terhadap ekosistem hutan kawasan dan terhadap kelangsungan hidup, juga mata pencaharian ribuan penduduk di daerah tersebut. Perlawanan semakin meningkat, ketika diketahui bahwa kawasan hutan Batang Toru, lokasi proyek yang direncanakan juga merupakan rumah bagi spesies orang utan yang baru di identifikasi (Pongo Tapanuliensis), yang hidup secara eksklusif di hutan tersebut. Ilmuan konservasi terkemuka mengatakan, bahwa pembangunan bendungan di Sungai Batang Toru akan mematahkan habitat orangutan, dan membawa kepunahan spesies langka yang terancam punah ini, yang sekarang hanya tinggal sekitar 800 ekor.
Kerugian Secara Hukum
Penolakan baru-baru ini dikeluarkan oleh pengadilan Sumatera Utara atas gugatan yang di layangkan oleh Walhi, LSM Lingkungan terbesar di Indonesia, yang menentang pemerintah daerah karena mengabaikan bahaya lingkungan, ketika mengeluarkan izin untuk proyek, dan telah menimbulkan kecemasan baru di antara pendudukan setempat. Sejak itu terungkap bahwa perusahaan telah memalsukan tanda tangan seorang peneliti kehutanan pada pernyataan dampak lingkungan (AMDAL) ketika perusahaan itu meminta persetujuan untuk proyek tersebut. Namun demikian, proyek sudah dibuka dan sedang berjalan.
“Banyak orang yang sekarang merasa tidak berdaya dalam menghadapi kegagalan gugatan yang nantinya akan memihak mereka dalam masalah ini.” Kata seorang anggota tim pencari fakta, dia juga menambahkan bahwa ketakutan dan kecurigaan semakin meluas di kalangan penduduk setempat.
Perkembangan hukum ini telah membawa dorongan baru yang kontroversial, dengan banyaknya penduduk setempat sekarang yang bergabung dengan koalisi penentang proyek secara meluas, dan mengintensifkan upaya untuk membujuk pemerintah Indonesia dan mitranya dari Tiongkok, maupun mitranya dari Indonesia untuk menghentikan proyek.
Masuk ke dalam kontroversi, awal bulan ini The International Union for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah dan badan ahli masyarakat sipil terkemuka dalam konservasi spesies, secara terbuka menyerukan moratorium pada semua proyek yang berdampak pada “Orangutan Tapanuli yang terancam punah.” Pesan tersebut secara khusus ditujukan untuk mendesak penghentian proyek NSHE.
Penemuan Fakta
Dalam upaya untuk membawa kejelasan lebih lanjut tentang situasi ini, tim pencari fakta, yang dipimpin oleh Center for Orangutan Protection (CoP) (yang diminta oleh Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) baru-baru ini melakukan penyelidikan di lokasi, daerah Simarboru (Sipirok, Marancar dan Batangtoru) di Tapanuli, Sumatera Utara. Misi utama tim pencari fakta adalah untuk menilai perasaan penduduk setempat yang tinggal di dekat lokasi proyek yang direncanakan; lalu tim pencari fakta sampai pada beberapa kesimpulan tentang sikap-sikap yang berlaku, yaitu:·
“Jelas dan terang bahwa perusahaan mengabaikan prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) yang merupakan hak masyarakat untuk mengatakan ‘ya dan bagaimana’ atau ‘tidak’ untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka. Hal ini berbasis pada hukum internasional dan hukum nasional di beberapa negara yang telah diperkuat melalui adopsi dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008,” ujar Hardi Baktiantoro, Founder & Principal CoP.
Sementara untuk masalah ketidakpuasan yang berkembang di antara penduduk setempat terutama masalah pribadi dan masalah lingkungan setempat, ada juga kekhawatiran internasional yang serius tentang dampak lingkungan dari proyek tersebut. Kekhawatiran ini terus-menerus diangkat oleh koalisi yang longgar dari berbagai NGO internasional dan domestik, termasuk Mighty Earth, The Ape Alliance, dan Program Lingkungan PBB, lalu secara domestik Orangutan Information Centre (OIC), Centre for Orangutan Protection (CoP), dan Sumatera Orangutan Conservation Program (SOCP).
Berikut, adalah masalah utama. Diantaranya :
Bahan Internasional
Bank of China dan Pemerintah Tiongkok telah menunjukkan minat untuk mendukung proyek ini secara finansial. Sejak awal, masyarakat di Indonesia menargetkan pemerintah Tiongkok dalam upaya untuk mencegah mereka berpartisipasi dalam proyek. Sebuah surat terbuka tahun lalu yang dikirim ke kedutaan Tiongkok di Jakarta menjabarkan kekhawatiran tersebut, meminta pejabat kedutaan untuk memfasilitasi pembicaraan dengan investor dan penyandang dana proyek Tiongkok untuk membuat mereka sadar akan risiko lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh proyek.
“Kami percaya bahwa setiap investasi asing di negara kami, baik dari Tiongkok atau dari negara lain, tidak boleh berkontribusi terhadap erosi, mata pencaharian orang dan yang lebih penting lagi adalah kepunahan spesies yang terancam punah,” isi dari surat tersebut.
Sebagai akibatnya, telah terjadi dialog besar-besaran antara Jakarta, Beijing dan organisasi konservasi internasional mengenai bagaimana melanjutkan proyek ini. Lima tahun sejak pendiriannya, Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok, di mana proyek ini merupakan produk mereka, telah menjadi subyek kontroversi internasional yang cukup besar.
Sementara itu, masyarakat yang terkena dampak dan pelestari lingkungan terus bekerja untuk membujuk pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali posisinya untuk bergerak maju dengan perkembangannya. Sebuah petisi online telah diposting untuk mencari dukungan domestik dan internasional untuk menyerukan penghentian pembangunan tersebut yang dapat diakses di tautan.
Sementara suara masih dihitung dari pemilihan presiden Indonesia baru-baru ini, diharapkan siapa pun pemenangnya akan bersedia untuk melihat lagi dampak negatif yang potensial dari proyek ini. Juga diharapkan bahwa slogan “Wonderful Indonesia” dapat berubah dari tagline kampanye wisata menjadi upaya nyata untuk mengambil kesempatan ini untuk menyelamatkan spesies orangutan Tapanuli yang terancam punah dan sebagai gantinya, mengabadikan kera besar yang luar biasa ini sebagai simbol dari Warisan nasional Indonesia yang unik.
“Pada dasarnya yang kami perjuangkan ini bukan semata-mata kepentingan kami saja. Ada ratusan ekor species langka dan dilindungi di seluruh dunia yang terancam punah, keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan sungai batangtoru, dan ribuan masyarakat yang akan merasakan dampak buruk akibat kelalaian dan pengabaian perusahaan serta pihak2 terkait dengan membangun megaproyek di area ini. Kami menunggu respon daripemerintah juga, langkah apa yang akan dilakukan untuk melindungi harta kekayaan Indonesia ini,” Panut Hadisiwoyo, Founder Director Orangutan Information Center (OIC) menambahkan. (*)