Koalisi Indonesia mendesak Pemerintah Untuk Menyelamatkan Orangutan Tapanuli, Melindungi “Wonderful Indonesia” English
Proyek waduk kontroversial senilai 1,6 juta dolar yang didukung Tiongkok dan Dharmawangsa Group mengancam kepunahan species langka Pongo tapanuliensis orangutan
JAKARTA, 5 Maret 2019 – Sudah dipastikan akan terjadi pertikaian panjang demi menyelamatkan spesies orangutan langka yang baru saja ditemukan dari kepunahan di tangan proyek waduk seharga 1.6 juta US Dollar. Kemarin, Pengadilan Negeri di Medan memutuskan bahwa situasi ini tidak menghentikan pembangunan waduk. Melihat hal tersebut, koalisi internasional organisasi dan pemimpin Indonesia memohon pada pemerintah agar membatalkan proyek tersebut dan menjaga ekosistem di sana untuk jangka panjang.
Waduk yang akan dibangun di Sungai Batang Toru, Sumatera Utara bersama perusahaan hydroelectric raksasa dari Tiongkok, Sinohydro dengan dana dari Bank of China ini mengancam spesies orangutan terbaru dan matapencaharian penduduk asli di sana.
Orangutan Tapanuli baru saja diidentifikasi sebagai spesies baru tahun 2017. Mereka merupakan spesies kera besar ke tujuh di dunia. Terlepas dari itu, mereka sudah sangat dekat dengan bahaya kepunahan dan populasi hanya sekitar 800 ekor. Diperkirakan populasinya sudah hampir setengahnya sejak tahun 1985 and akan terus berkurang kecuali dilakukan perlindungan yang lebih komprehensif1.
Proyek PLTA seharga 1.6 juta dollar Amerika ini merupakan yang terbesar di Sumatra, pertama kali diumumkan di 2011 dan dijadwalkan selesai pada tahun 2022. Tapi waduk sudah direncanakan sebelum ditemukannya Orangutan Tapanuli. Hal ini menunjukkan bahwa proses perencanaan lingkungannya tidak memperhatikan bahaya punahnya spesies ini.
Kepemilikkan proyek ini diduga sebagai bagian dari Belt and Road Initiative milik China, juga tumpah tindih antara Indonesia dan Tiongkok, pendanaan dari Tiongkok dan perusahaan synohydro milik negara Tiongkok.
“Investasi China ini dapat berpotensi membawa manfaat, tapi proyek ini beresiko mengotori reputasi Belt and Road Initiative”, kata Panut Hadisiswoyo, Founding Director Pusat Informasi Orang Utan. “Kami berharap pemerintah China dapat dengan serius mempertimbangkan kembali proyek ini mengingat penemuan Orangutan Tapanuli: bisa dibayangkan proyek yang didanai pihak luar negeri mengancam Panda raksasa yang akan punah pernah disetujui?”.
Salah satu penerima manfaat dari waduk ini adalah tambang emas Martabe, yang saat ini digadang untuk mengembangkan habitat Orangutan Tapanuli. Tambang tersebut dimiliki oleh anak perusahaan konglomerat Inggris, Jardine Matheson yang pernah dikritik soal anak perusahaan sawitnya yang mengambil lahan habitat orangutan seluas 10.000 are.
“Jardine sudah memdapatkam keuntungan dari perusahaan hutan seluas 10.000 are dan sekarang akan menambang emas yang tentunya akan mempengaruhi kelangsungan hidup orangutan Tapanuli”, ujar Glenn Hurowitz, CEO Mighty Earth, sebuah organisasi yang sudah pernah sebelumnya mendesak Jardin untuk melindungi orang utan Tapanuli. “Siapapun tidak ingin mengenakam kalung emas ataupun cincin kawin yang menyebabkan terbunuhnya spesies langka.”
Perusahaan Dharma Hydro yang merupakan bagian dari Dharmawangsa Group memiliki hubungan dengan proyek ini; Dharma Hydro merupakan pemilik saham terbesar dari PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), perusahaan di balik proyek waduk tersebut. Ironisnya adalah walaupun pembangunan waduk ini akan membahayakan habitat kera besar terlangka di dunia, namun Dharmawangsa Group sedang menjual resort baru yg pengembangannya adalah sebagai ‘eco resort’.
Pengkajian lingkungan juga menemukan bahwa konstruksi dan operasi dari waduk dan PLTA ini akan mengancam kehidupan ribuan penduduk di hilir yang bergantung pada ekosistem sungai untuk bertahan hidup seperti memancing, pertanian, transportasi dan kebutuhan air sehari-hari.
“Pemerintah Indonesia menghabiskan jutaan dolar untuk mempromosikan harta kekayaan alam kita melalui kampanye Wonderful Indonesia”, kata Hardi Baktiantoro dari Pusat Perlindungan Orangutan, yang juga ikut bergabung di dalam wawancara terbatas. “Presiden Jokowi seharusnya melindungi investasi dengan cara menyalurkan investasi tersebut pada energi bertanggung jawab dan proyek infrastruktur yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan listrik kita, tapi juga dapat menjaga alam liar dan margasatwa Indonesia.”
Ini merupakan ancaman besar dengan keuntungan yang tidak setimpal. Dibandingkan dengan proyek hydro-energy lainnya di duni, proyek ini terhitung tidak menguntungkan jika membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan kentungan yang didapatkan. Ditambah lagi, area yang akan dibangun NSHE untuk waduk tersebut merupakan area dengan aktivitas geologis yang intensif yang beresiko tinggi gempa bumi dengan potensi bencamna berkelanjutan.
Beberapa laporan2 menyebutkan bahwa tidak ada kebutuhan mendesak dari energi NSHE. Alternatif produksi lainnya juga tersedia di area itu, contoh proyek geothermal MW Sarasulla yang memproduksi energi bersih dan dapat ditingkatkan menjadi 1000 MW jika dibutuhkan. Pengembangan dati alternatif ini dapat mengurangi resiko lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh proyek hydroelectric, memastikan keselamatan orangutan, keberlangsungan hidup orang banyak.
“Indonesia dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur dan energi yang dibutuhkan tanpa membahayakan orangutan atau sekedar membuang-buang uang dalam jumlah yang tidak sedikit di tanah Batang Toru. Banyak pilihan lain seperti panas bumi, energi matahari yang bahkan lebih kecil, lebih murah dan tidak merusak.” Kata Arrum dari Program Konservasi Orangutan Sumatra. “Pada akhirnya, masyarakat Indonesia lah yang akan membayar pinjaman besar ini di tagihan listrik kita.” (*)